Madika, – Jelang Pemilihan Umum () 2024, suara-suara yang menyoroti perlunya akuntabilitas dan keadilan bagi korban semakin menguat.

Para pemerhati HAM, aktivis masyarakat sipil, mahasiswa, akademisi, dan jurnalis menggalang momentum penting ini melalui diskusi publik dan acara roadshow bertajuk “Menolak Lupa Kasus Pelanggaran Berat HAM.”

Acara yang diadakan di Bandung pada tanggal 7 Februari 2024 ini menampilkan pemutaran film “Munir: Sebuah Extrajudicial Killing” serta seni panggung, selain dari berbagai diskusi yang dilakukan.

Zaky Yamani, juru kampanye Amnesty International , menjelaskan signifikansi waktu penyelenggaraan acara tersebut yang bersamaan dengan peringatan 35 tahun .

Pada tanggal 7 Februari 1989, tragedi mengerikan melanda kampung Cihideung, Talangsari, Lampung, di mana sekelompok komunitas Islam yang dikenal sebagai Jemaah Warsidi diserang oleh aparat militer.

BACA JUGA  Sulteng Bersiap Menjadi Surga Investasi melalui Central Celebes Investment Forum (CCIF)

Tragedi ini menelan korban jiwa dan mendera banyak orang dengan penyiksaan serta pengusiran paksa dari kampung halaman mereka.

Zaky menegaskan bahwa upaya untuk menyelesaikan kasus seperti masih minim, bahkan setelah diakui sebagai oleh Presiden Joko Widodo.

“Ini menandakan negara masih belum serius dalam memastikan keadilan dan reparasi bagi para korban,” ujar Zaky.

Suciwati, istri almarhum aktivis HAM Munir Said Thalib, menyoroti budaya impunitas yang masih merajalela di .

Dia menekankan bahwa meskipun pemerintah menyatakan niat untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, namun implementasinya terbukti kurang signifikan.

Suciwati mencontohkan kasus pembunuhan Munir pada tahun 2004 yang hingga kini belum diselesaikan dengan baik. Dokumen resmi dari Tim Pencari Fakta (TPF) pun hilang setelah diserahkan kepada pemerintah, menandakan kurangnya transparansi dan komitmen.

BACA JUGA  Ketua DPRD Palu: Piala Adipura Adalah Prestasi Warga Kota Palu

Ardi Manto dari Imparsial menambahkan bahwa dalam satu dekade terakhir, negara terlihat mengabaikan kasus-kasus pelanggaran HAM secara sistematis, memberi ruang bagi pelaku untuk terus menghindar dari keadilan.

Pengabaian tersebut juga tercermin dalam pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Masa Lalu, yang dipandang sebagai upaya mencuci dosa tanpa membebankan tuduhan yang pantas.

Ressy Utari, seorang aktivis Aksi Kamisan Bandung, menyoroti bahwa impunitas pada kasus-kasus masa lalu mempengaruhi kondisi saat ini, di mana pelanggaran HAM masih terjadi. Dia menyerukan agar kaum muda terus mengingat dan merawat ingatan akan kasus-kasus tersebut melalui partisipasi dalam aksi-aksi serta diskusi publik.

Dalam menghadapi 2024, suara-suara ini menjadi penting sebagai pengingat bahwa memilih pemimpin baru bukan hanya tentang masa depan, tetapi juga tentang keadilan yang tertunda dan hak asasi manusia yang terabaikan.

BACA JUGA  Trik Menyimpan Daging dalam Kulkas agar Kualitas Terjaga