Mereka Yang Hanya jadi Pemanis Pemilu di Palu
Madika, Palu – Bermodalkan karung bekas, sehelai kain penutup kepala dan sandal jepit lusuh, Aslima, sedari pukul enam pagi mulai berkeliling mencari sisa plastik bekas. Satu persatu lokasi pembuangan sampah mulai didatangi.
Bau menyengat sampah tak lagi dihiraukan. Targetnya satu, plastik bekas. Tidak jarang, kakinya tergores benda tajam saat berjalan di tumpukan sampah.
Banyak atau sedikit plastik yang didapat, Aslima akan mengakhiri aktivitas memulung pada tengah hari. Selain terik, dia juga harus menyiapkan makanan buat keluarganya.
Perempuan berusia 52 tahun ini tidak pernah membayangkan dan menginginkan pekerjaan ini. Memulung merupakan ikhtiar menyambung hidup. Hal serupa berlaku bagi puluhan perempuan lain yang tinggal di hunian sementara (huntara) di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Huntara di Kelurahan Talise adalah satu dari beberapa lokasi bangunan yang didirikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bagi 9.181 penyintas tsunami, gempa bumi dan likuifaksi yang melanda Kota Palu pada 28 September 2018.
Ukuran hunian itu 3×4 meter. Rangkanya dari baja ringan. Ketebalan dinding kurang dari setengah sentimeter. Materialnya bukan bata dan adukan semen tapi papan fiber semen. Lantainya dari triplek.
Privasi jadi barang mahal di huntara. Suara dari satu bilik ke bilik lainnya dapat terdengar jelas. Hunian ini dibagi ke dalam beberapa blok untuk setiap 12 kepala keluarga. Mereka menggunakan kamar mandi dan tempat buang air komunal. Untuk air bersih, setiap kepala keluarga harus membayar iuran Rp20 ribu per bulan
Aslima beserta 52 kepala keluarga lain harus bertahan di huntara. Pemerintah tidak memfasilitasi mereka pindah ke hunian tetap. Alasannya, tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan sebelum bencana.
Aslima jadi kepala keluarga sejak suaminya meninggal pada 2018. Dia tinggal bersama seorang anak dan dua cucunya di huntara. Anaknya kerap sakit-sakitan setelah cerai dengan pasangannya.
Sebelum memulung, Aslima memanfaatkan kemampuannya mengurut orang. Dia bisa mengantongi pemasukan Rp100 ribu usai mengurut. “Satu hari bisa baurut sampai tiga orang,” ujarnya sembari menambahkan dia bisa membangun rumahnya yang hancur dari jasa urut.
Selepas bencana, kebutuhan harian Aslima tidak tertutupi dari mengurut saja. “Kadang mau makan susah. Kalau memulung dapat 300 ribu (rupiah) satu bulan sudah alhamdulilah sekali, beda lalu waktu baurut orang,” tuturnya sembari membersihkan sisa plastik bekas minuman gelas.
Penyintas lainnya, Sri Tini sengaja membangun gubuk dari papan bekas di sekitar huntara yang ditempatinya. Dia memanfaatkan papan bekas serta terpal dan baliho sebagai penutup gubuknya karena lantai huntara yang ditempatinya patah pada berbagai sisi. Rangka dasar huntara ini berjarak 30 sentimeter dari tanah, seperti rumah panggung.
Sebelum bencana, Tini mendapatkan pemasukan dari kemampuannya menjahit. Selepas suaminya cedera patah tulang tangan kanan, Tini terpaksa memulung. Baginya bisa dapat uang Rp400 ribu setiap bulan adalah berkah. Uang itu hasil menjual puluhan kilo plastik yang dihargai Rp1,000 per kilogram.
“Kamu kira enak tinggal di huntara ini. Makan satu hari satu kali saja sudah bersyukur, belum lagi huntara yang semua orang kalau bicara dapa dengar dari ujung ke ujung. Pikir jo bemana itu yang berkeluarga mau ba malam jumat, kadang dorang baku bisik saja kita dengar. Belum siang panasnya kaya di neraka, malam rupa di dalam kulkas kita orang ini. Siapa kira-kira bisa hidup begitu,” kata Tini.
Para penyintas ini saling membantu satu dengan yang lain. Tidak jarang, sesama penyintas meminta makanan saat tidak memiliki pemasukan.
Tinggalkan Balasan