Mereka Yang Hanya jadi Pemanis Pemilu di Palu
“Ada dulu berasmu biar cuman satu gelas, belum makan saya ini. Kalau ada saya kasih, kadang kalau tidak ada saya hanya suruh makan apa yang ada di dapur,” kenang Tini.
Merasa Dibohongi

Kesan kumuh nampak jelas di kawasan bangunan yang sudah berdiri hampir enam tahun ini. Masa kampanye pemilihan umum (pemilu) 2024 membuatnya semakin parah.
Pada dinding-dinding bangunan itu tampak kesemrawutan pemasangan spanduk, poster, stiker calon anggota legislatif. Andai, dinding bangunan ini kantor pejabat, maka seluruh tempelan itu sudah dibersihkan, dianggap vandalisme.
Sama seperti suasana pemilu 2019 lalu, para penyintas ini hanya dianggap saat peserta pemilu memerlukan dukungan suara. Barang jualannya adalah janji memindahkan mereka ke tempat yang lebih baik. Satu paket dengan iming-iming peningkatan kesejahteraan, bantuan sosial, program latihan kerja.
Tini mengaku dirinya sempat tergiur dengan janji manis dari caleg dan partai politik pada pemilu 2019.
“Jangankan bahoba (melihat), batang hidungnya saja tidak pernah muncul habis dicoblos. Ini lagi mau pemilu dorang (caleg) datang dengan janji-janji manisnya. Sudah jo, berhenti babohongi kami,” ketus Tini.
Setelah pemilihan presiden, Tini merasa jatuh di lubang yang sama. Dia percaya pada para calon kepala daerah di pemilihan kepala daerah 2020. Tawarannya saat itu penyintas yang tidak punya alas hak hunian tetap bisa mengakses hunian tetap.
Alih-alih mendapat hunian tetap, Aslima dan Tini juga masih harus memulung untuk kebutuhan sehari-harinya. Pendapatan mereka jauh di bawah upah minimum kota (UMK) Palu sebesar Rp3.179.452.
Aslima menyadari namanya sudah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 04 Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Baginya, pemilu hanya akan menguntungkan para peserta pemilu, bukan warga negara.
“Janjinya caleg itu pahit, lebih pahit dari paria, meskipun banyak yang bilang manis. Apa yang mereka beri tidak sebanding dengan gaji yang nanti didapatkan. Bahkan kemarin ada yang mau membayarkan iuran air bersih kami selama tiga bulan, tapi saya belum tersentuh. Kemungkinan saya tidak mau bacoblos,” tuturnya dengan nada sinis.
Makanya tidak mengherankan jika para penyintas bencana ini lebih tertarik dengan narasi, ‘ambil uangnya, jangan pilih orangnya’.
Tinggalkan Balasan