4 dari 4 halaman
Lokasi Hunian Sementara di taman Hutan Kota Palu, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. FOTO : Sobirin

Peserta pemilu 2019 yang terpilih di Palu mengaku belum berhasil memberikan solusi bagi para penyintas bencana, khususnya mereka yang sebelumnya tidak memiliki alas hak ataupun ngontrak. 

Tawaran solusi membangunkan rumah susun dengan memanfaatkan lahan pemerintah kota yang dikerjasamakan pelaku usaha juga belum membuahkan hasil. 

“Supaya masyarakat ini tidak lagi berpikir hunian, mereka tinggal fokus untuk membenahi perekonomiannya. Kalau dibiarkan, nantinya akan menimbulkan masalah baru karena mereka harus berfikir tempat tinggal dan isi perut,” kata Wakil Ketua DPRD Kota Palu, Rizal Dg Sewang. 

Politikus yang mendapatkan suara terbanyak pada pemilu 2019 di Palu ini berharap Pemerintah Kota Palu tidak menjadikan dokumen kepemilikan lahan sebagai syarat utama penyintas dapat hunian tetap.

Namun harapan itu bakal bertabrakan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2019 tentang Rekonstruksi dan Rehabilitasi Pasca Bencana Gempa Bumi, Tsunami, dan Likuifaksi.

Penyintas yang masih berada di huntara tidak dapat memperoleh hunian tetap akibat tidak adanya dokumen kepemilikan lahan, karena sebelum bencana mereka adalah orang-orang yang menyewa kamar atau mengontrak hunian orang lain. 

BACA JUGA  Semarak HUT RI, Fraksi PKS Gelar Lomba Dengan Hadiah Puluhan Juta

“Secara kelembagaan, saya dan teman-teman sudah berulang kali menyampaikan agar mereka (penyintas) yang masih di huntara dibangunkan huntap ataupun rusun. Kalau memang APBD agak berat, kita pakai CSR (Corporate Social Responsibility),” terang politikus yang berlatar belakang guru honorer ini.

Ketersediaan hunian tetap jadi prioritas bagi para penyintas bencana. Aslima tidak ingin membayangkan suatu hari di masa depan, cucu-cucunya diusir dari huntara. 

“Mau makan saja susah, apalagi disuruh pikir bangun rumah. Kalaupun janji-janji bantuan usaha itu tidak bisa diwujudkan, setidaknya beri kami kepastian rumah. Kami ini yang korban, sudah dibawa lari tsunami tinggal nyawa yang tidak pigi. Tapi apa, kami seperti tidak dianggap,” ungkap Aslima.

Klaim anggota dewan yang sudah memprioritaskan ekonomi kerakyatan juga tidak sampai ke penyintas bencana.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Kota Palu, Nanang mengaku dirinya sudah banyak berkontribusi untuk peningkatan ekonomi masyarakat. 

BACA JUGA  Empat Kasus Narkotika Berhasil Diungkap BNNK Donggala Selama 2023

Pria yang mendulang 1.685 suara pada pemilu 2019 ini memanfaatkan anggaran pokok pikiran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mewujudkan programnya di masyarakat.

Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 86 tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

Setiap anggota dewan dapat mengajukan program usulan masyarakat dari hasil reses atau penjaringan aspirasi saat mereka berkunjung ke daerah pemilihannya. Acuannya adalah program kepala daerah. 

Nanang mengaku, sejak diberi kewenangan anggaran pokir di tahun 2023, ia berhasil merealisasikan usulan bantuan usaha berupa uang tunai senilai lima juta rupiah. Dana itu dibagikan kepada 60 pengusaha milenial, menjadi bantuan bibit dan green house bagi 5 kelompok hidroponik, 22 ekor kambing untuk dua kelompok ternak, serta beberapa titik perbaikan dan peningkatan ruas jalan lingkungan.

BACA JUGA  Ini Nama 21 Lurah yang Baru Dilantik Wali Kota Palu

Dijelaskan juga, semua bantuan yang direalisasikan merupakan usulan dari hasil menggelar reses bersama konstituen, ataupun berdialog bersama masyarakat umum di daerah pemilihannya. 

Hal ini berbeda dengan pernyataan Tini. Penyintas yang hobi menggeluti tanaman hias ini sempat mengupayakan produksi kompos. Dia menjual kompos lewat media sosial. Saat hendak memperbesar kapasitas produksinya, Tini tidak mendapatkan akses. Dia perlu membeli mesin pencacah sampah organik senilai Rp7 juta. Permohonannya ke pemerintah tidak pernah ditanggapi. 

“Padahal saya tidak minta uang mereka (Pemerintah,red), saya hanya butuh mesin cacah sampah organik saja. Tapi mau diapa, sampai sekarang tidak ada juga dikasih. Padahal kalau ada alat itu, orang-orang disini juga bisa saling diberdayakan,” tutur Tini.