Malam Ini dan Kenangan Puluhan Tahun Yang Silam
Madika – ”ANAK – anak, jangan lupa malam ini semua wajib menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di televisi,” begitu ucap Guru PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) kepada kami anak kelas IV SD Inpres Labotan di Kabupaten Banggai. Bagi saya dan kawan-kawan ini adalah momen yang ditunggu-tunggu, perintah yang menyenangkan dari seorang guru yang setiap saat selalu menyemburkan patriotisme dari mulutnya. Hingga malam ini, nyaris 27 tahun kemudian, intonasi dan artikulasi suara itu masih mengikat ingatan saya.
Malamnya, bersama sejumlah teman menuju kediaman satu satunya pemilik televisi hitam putih di kampung saya. Bermodal uang senilai 50 rupiah pemberian sebagai tiket masuk, kami duduk rapi di garis depan sekira 1,5 meter dari layar TV yang sudah ditempeli dengan kaca warna biru pucat. Fungsinya, agar gambar terlihat berwarna.
Tentu saja tidak ada popcorn dan minuman soda, atau snack layaknya di layar XX1. Kami duduk bersila duduk di atas lantai tanah. Tidak ada tikar alas – yang punya alas kaki, bisa menggunakannya untuk alas duduk. Setengah film berjalan, pintu dan jendela dibuka. Penonton berjubel.
Guru PSPB terlihat berdiri di sudut ruangan. Tubuh tambunnya bersandar di drum minyak tanah. Sesekali suaranya berdehem jika kami ribut atau ada yang ngantuk. Beberapa kali tangannya menjamah setelan minyak tanah di lampu petromak (kami menyebutnya lampu gas) – jika terangnya mulai redup.
Semestinya anak SD tidak boleh menonton film ini. Jika dibedah dengan pisau lembaga sensor film (LSF) rate penonton film ini adalah 17+ bahkan 21+ karena adegan sangat sadis penuh darah membuat penonton bergidik. Tapi itu bukan soal.
Kami pun menonton. Menit-menit awal, ketegangan sudah terasa. Pintu rumah umum digedor keras. Seorang tentara berteriak lantang sambil menodongkan senjata: “Jenderal, ikut kami sekarang juga!”
Adegan berikutnya lebih mencekam. Para jenderal digiring ke Lubang Buaya, tangan terikat, wajah dipukuli, disayat. Di layar, para perempuan bergerombol sambil menari-nari sambil berteriak – “Hajar dia!. Scene ini sampai sekarang akurasinya terus digugat.
Bagi anak SD seumuran kami saat itu, tontonan itu tentu bukan sekedar film. Ia terasa nyata. Saya masih ingat perasaan bergidik saat melihat adegan jarum yang ditusukkan ke tubuh jenderal, darah menetes, betapa sakitnya terasa menggema. Latar musiknya menekan jiwa, seolah jantung ikut berdentum dengan orkestra yang mencekam.
Ada juga adegan sumur tua. Tubuh dilempar ke dalam lubang sempit itu, satu per satu. Suara narator berat menutup adegan. “Inilah pengkhianatan yang tak akan pernah dilupakan bangsa Indonesia.”
Malam itu, di ruang tamu yang beralas tanah lembab penuh sesak. asap rokok tebal menembus langit-langit tanpa plafon. Rumah pengap oleh puluhan manusia dewasa dan anak terbantu oleh sepoi angin yang menyelinap dari lubang papan yang menganga dikerat rayap.
Pandangan saya terbetot ke layar dengan campuran takut dan ngeri serta sedikit semburan patriotisme hasil didikan guru PSPB yang saban hari terus menginjeksi kami dengan nilai-nilai kejuangan. Durasi film ini memang panjang. Pulang dengan langkah sempoyongan namun tetap semangat menceritakan kembali adegan-adegan film.
Esoknya guru membuka diskusi:
“Apa yang kalian lihat?
Apa yang kalian rasakan?”
Teman-teman saya menjawab: “PKI kejam, mereka menyiksa jenderal!”
Ada juga yang diam, masih terguncang.
Seorang teman perempuan berbisik, ia tak bisa tidur karena mimpi buruk setelah menonton jarum yang ditusukkan ke tubuh jenderal.
Guru mengangguk, lalu berkata, “Itulah bukti kekejaman. Jangan pernah kalian lupa.” Tidak ada ruang untuk bertanya. Apa yang ditonton di televisi pada malam itu adalah kebenaran tunggal.
Kini, setelah dewasa, saya sadar bahwa film itu bukan sekadar tontonan, melainkan alat untuk memelihara ingatan. Ia menyusup ke dalam pikiran hingga ke alam bawah sadar. Menanamkan rasa takut sekaligus kebencian.
Tetapi ada satu adegan yang paling relevan hingga kini. Percakapan suami istri rakyat kecil tentang harga beras. Sang istri berkata lirih, “Beras makin mahal saja.” Suaminya menimpali, “Negara kacau begini… yang susah ya kita, rakyat kecil.”
Keluhan sederhana itu terasa lebih dekat daripada teriakan politik. Kini saya pun tahu, sejak kecil, betapa beras yang mahal selalu membuat dapur resah.
Malam wajib menonton itu kini tinggal kenangan. Tapi ini menunjukkan betapa sebuah film bisa menjadi senjata ideologis. Ini bukan hanya tentang tahun 1965, tapi juga tentang bagaimana negara mengatur apa yang harus kita lihat dan apa yang harus kita yakini.
Dan saya, seperti jutaan anak sekolah lain kala itu, adalah saksi kecil dari propaganda yang masuk melalui layar kaca lengkap dengan darah, sejarah yang terdistorsi dan adegan sumur tua di Lubang Buaya yang kini akurasinya terus digugat.
Penulis: Yardin Hasan
Tinggalkan Balasan