YAMMI Sulteng Desak Polresta dan Kejari Palu Tindak Pemilik Tambang Ilegal Poboya
Madika, Palu – Yayasan Advokasi Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali menyoroti tragedi longsor di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, yang terjadi Kamis (9/10/2025) malam.
Peristiwa di tambang ilegal yang dikenal dengan sebutan “Vavolapo” itu menewaskan seorang penambang berinisial HR setelah tertimbun material longsor.
Direktur Kampanye dan Advokasi YAMMI Sulteng, Africhal Khamane’i, menegaskan bahwa kejadian serupa telah berulang kali terjadi di kawasan tersebut. Ia mengingatkan bahwa pada awal Juni 2025 lalu, dua penambang juga tewas akibat longsor di lokasi tambang ilegal “Kijang 30”.
“Pola yang sama terulang: longsor tiba-tiba datang, menimbun para pekerja yang sedang beraktivitas, dan merenggut nyawa dengan begitu cepat,” kata Africhal, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, insiden yang terus berulang itu menunjukkan bahwa aktivitas PETI di Poboya telah menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa memakan korban lagi.
“Para penambang bekerja karena desakan ekonomi, namun harus menghadapi kondisi kerja berbahaya tanpa standar keselamatan yang memadai. Tidak ada pengawasan, tidak ada prosedur keselamatan, dan tidak ada jaminan perlindungan bagi para pekerja,” ujarnya.
Africhal menilai, aktivitas tambang ilegal di Poboya masih berjalan bebas meski sudah berulang kali menelan korban jiwa. Ia mempertanyakan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik yang jelas melanggar undang-undang tersebut.
“Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah, mengapa praktik ilegal yang membahayakan nyawa manusia ini masih dibiarkan berlangsung? Siapa yang diuntungkan? Dan mengapa nyawa manusia seolah menjadi harga murah dalam bisnis gelap pertambangan?” tegasnya.
YAMMI Sulteng mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polresta Palu, Kejari Palu, serta instansi terkait lainnya, agar mengusut tuntas jaringan dan aktor intelektual di balik operasional PETI Poboya yang telah bertahun-tahun beroperasi tanpa izin.
“Tindak tegas para pemilik dan pengelola tambang ilegal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata Africhal.
Selain itu, YAMMI juga menuntut pemerintah untuk menutup seluruh lokasi PETI di Poboya secara permanen serta mengungkap dugaan pembiaran atau keterlibatan oknum aparat yang memungkinkan aktivitas ilegal itu terus berlangsung.
Ia menegaskan, persoalan PETI memang tidak sesederhana hitam dan putih karena terkait dengan faktor ekonomi dan kemiskinan struktural. Namun, membiarkan aktivitas berisiko tinggi itu berlanjut adalah bentuk kelalaian negara dalam melindungi warganya.
“Tidak boleh ada lagi korban yang jatuh karena kelalaian negara dalam menegakkan hukum dan melindungi warganya,” ujarnya.
Africhal juga mengingatkan Pemkot Palu dan Pemprov Sulteng agar tidak hanya bersikap reaktif setiap kali korban berjatuhan, melainkan proaktif dalam pencegahan.
“Diperlukan langkah komprehensif, tidak hanya penegakan hukum, tetapi juga pemberdayaan ekonomi masyarakat agar tidak tergantung pada aktivitas ilegal yang membahayakan nyawa mereka sendiri,” katanya.
Ia menutup dengan harapan agar tragedi Poboya menjadi titik balik keseriusan semua pihak dalam mengakhiri praktik PETI di wilayah itu.
“Biarkan ini menjadi longsor terakhir yang merenggut nyawa di Poboya,” tutup Africhal.
Tinggalkan Balasan