Transisi Energi Sulteng Terhambat PLTU Industri, Bauran Energi Terbarukan Turun
Madika, Palu – Sulawesi Tengah memiliki potensi besar mempercepat transisi energi dengan cadangan energi terbarukan mencapai 3.597,1 megawatt (MW). Namun, dominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) industri yang masih diizinkan oleh kebijakan pusat membuat bauran energi terbarukan di provinsi ini justru menurun.
Temuan itu terungkap dalam kajian CERAH berjudul “Menakar Kesiapan Daerah untuk Transisi Energi” yang meneliti empat daerah: Jawa Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah.
Hasil riset menunjukkan Sulawesi Tengah meraih nilai 138 dari total 240, yang mencerminkan pemahaman pemerintah provinsi terhadap urgensi transisi energi.
“Pemprov Sulteng paham bahwa batu bara menimbulkan dampak kesehatan dan lingkungan yang serius serta tidak berkelanjutan secara ekologis maupun ekonomi. Permasalahannya, batu bara masih dianggap lebih murah dan mudah diakses, sehingga menjadi tantangan utama dalam percepatan transisi energi,” kata Executive Director CERAH, Agung Budiono, dalam rangkaian kegiatan bertajuk ‘Mendorong Akselerasi Transisi Energi Berkeadilan: Dari Tata Kelola Mineral Kritis Daerah hingga Peluang Green Jobs di Sulawesi Tengah’ yang digelar di Palu, Kamis (27/11/2025).
Mengacu laporan CERAH, Pemprov Sulteng telah mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan dari air, biomassa, dan surya. Pemprov juga menjalankan program pemasangan meteran listrik subsidi untuk memperluas akses listrik masyarakat, serta menyediakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (PLTSHE) bagi kawasan yang belum terjangkau jaringan.
Namun, program itu menghadapi kendala keberlanjutan. Setelah fasilitas PLTSHE diserahkan ke masyarakat, pemeliharaan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemprov. Kapasitas teknis dan anggaran masyarakat yang terbatas membuat fasilitas tersebut cepat rusak dan menghambat pemerataan elektrifikasi.
Tantangan semakin besar karena kebijakan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 masih membuka ruang pemanfaatan PLTU khusus industri (captive). Akibatnya, 12 unit PLTU captive berkapasitas 5 gigawatt (GW) di kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) masih mendominasi suplai energi di Sulawesi Tengah.
Dampaknya, bauran energi terbarukan di wilayah ini hanya 9,83 persen, turun dari 10,4 persen pada 2024 dan jauh di bawah target 30,51 persen pada 2025 sesuai Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019–2050. Padahal, tanpa PLTU captive, bauran energi terbarukan telah mencapai sekitar 40 persen.
“Operasional PLTU industri ini membuat Sulawesi Tengah mengalami kenaikan emisi gas rumah kaca hingga 47.091 gigagram setara karbon dioksida (GgCO₂eq) pada 2023, dan 94 persen di antaranya berasal dari sektor energi. Pemerintah daerah mengakui pencemaran dan kerusakan lingkungan di kawasan IMIP, namun kewenangan mereka terbatas hanya pada pemantauan dan inventarisasi emisi karena izin pengelolaan industri berada di tangan pemerintah pusat,” Agung menambahkan.
Pada kesempatan yang sama, riset INDEF “Strategi Penguatan Tenaga Kerja dalam Era Mineral Strategis: Dampak terhadap Pasar Kerja dan Arah Peningkatan Kualitas Pekerja” mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel memang mendongkrak Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulteng menjadi 41,18 persen pada 2024. Namun, penyerapan tenaga kerja lokal tetap rendah.
Jumlah pekerja di IMIP melonjak dari 35 ribu pada 2020 menjadi 85 ribu pada 2025, tetapi hanya 18 persen yang berasal dari kabupaten. Selain itu, porsi pekerja formal di Sulawesi Tengah hanya 34–37 persen, sementara pekerja outsourcing dan kontrak jangka pendek mendominasi.
Riset itu mencatat rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai penyebab utama, karena mayoritas tenaga kerja lokal hanya lulusan SD hingga SLTA. Kondisi tersebut membuat hilirisasi tetap bergantung pada pekerja migran sampai kapasitas SDM lokal ditingkatkan melalui pelatihan berbasis kompetensi yang didanai industri dan pemerintah.
“Sulteng menempati posisi strategis, bukan hanya karena menjadi pusat mineral namun juga ekonomi hijau. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas tenaga kerja menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera diatasi oleh pemerintah,” kata Direktur INDEF, Eko Listiyanto.
Dari sisi peluang kerja, Koaksi Indonesia menilai Sulteng memiliki potensi besar membuka lapangan pekerjaan hijau (green jobs). Melalui Green Jobs Workshop, Koaksi mendorong peningkatan pemahaman anak muda mengenai pekerjaan hijau dan kebutuhan reskilling.
“Green jobs tidak hanya soal keberlanjutan dan efisiensi, tetapi juga terkait jenis pekerjaan yang akan hilang dan muncul. Sektor tambang di Sulteng misalnya, suatu saat akan habis. Di sisi lain, energi terbarukan sendiri menawarkan sekitar 500 ribu peluang kerja, terutama tenaga teknis, dan itu baru satu sektor,” ujar A Azis Kurniawan, Manajer Kebijakan dan Advokasi Koaksi Indonesia.
Aziz menegaskan penciptaan lapangan kerja hijau bukan sekadar mengikuti tren global, tetapi menyesuaikan minat dan profesi anak muda dengan kebutuhan masa depan. Ia menilai Sulteng memiliki peluang besar menyiapkan tenaga kerja muda agar mampu bertransisi ke pekerjaan hijau.
Menurutnya, penguatan green jobs membutuhkan peran aktif pemerintah daerah karena tantangannya tidak hanya terkait kapasitas SDM, tetapi juga ekosistem daerah yang kompleks.
“Pertanyaannya adalah bagaimana Sulteng bisa benar-benar menghasilkan lapangan kerja hijau? Setiap sektor sebenarnya punya potensi, tapi butuh produktivitas, efisiensi, dan kolaborasi. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, swasta, masyarakat sipil, kampus, dan industri harus bergerak bersama. Semua tempat bisa menjadi ranah green jobs, asalkan difasilitasi oleh kebijakan dan ekosistem yang tepat,” Aziz menjelaskan.
