Madika, Palu — Yayasan Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKP-ST) menyatakan penolakan keras terhadap rencana ekspansi tambang galian C di wilayah Loli Oge, Loli Saluran, Loli Tasiburi, dan Loli Dondo, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala.

KPKP-ST menilai aktivitas pertambangan tersebut mengancam kelangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan dan anak, serta merusak ekosistem hutan dan sumber air yang menjadi penopang utama kehidupan warga.

Sebagai organisasi yang berfokus pada keadilan gender, keadilan ekologis, perlindungan hak perempuan dan anak, serta hak asasi manusia, KPKP-ST menegaskan bahwa dampak pertambangan tidak bersifat netral gender.

Perempuan di kawasan Loli dinilai menanggung beban paling besar akibat kerusakan lingkungan. Lebih dari 80 persen perempuan di Kecamatan Banawa menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan subsisten.

Kebun campur yang mereka kelola, seperti jagung, pisang, kapuk, sirsak, dan tanaman pangan lainnya, terancam rusak akibat sedimentasi, pencemaran air, dan degradasi lahan.

Koordinator Wilayah KPKP-ST Kabupaten Donggala, Firdayanti, S.Sos., M.P.W.P., menyampaikan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 sebagai turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara, kewenangan perizinan dan pengawasan tambang galian C berada di tangan Pemerintah Provinsi. Karena itu, KPKP-ST mendesak Gubernur Sulawesi Tengah untuk menghentikan seluruh rencana dan aktivitas ekspansi tambang galian C di kawasan Loli serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin pertambangan yang telah dikeluarkan.

BACA JUGA  Aksi 1000 Lilin Untuk Korban Ledakan Smelter di PT. ITSS Morowali

“Pertambangan menjadi ancaman serius terhadap ekosistem hutan, sumber air, dan keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya generasi mendatang. Negara tidak boleh bersembunyi di balik izin. Jika izin tambang menghancurkan kehidupan perempuan, maka izin itu adalah bentuk kekerasan,” ujar Firdayanti.

KPKP-ST juga menyoroti dampak ekologis yang berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat. Polusi udara dari aktivitas tambang berpotensi meningkatkan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Selain itu, pencemaran tanah dan air dinilai menurunkan kualitas pangan serta sumber air bersih, yang paling dibutuhkan perempuan dan remaja perempuan terkait kesehatan reproduksi. Kerusakan tersebut bersifat jangka panjang dan berpotensi memicu bencana ekologis yang memperparah kerentanan sosial ekonomi masyarakat pesisir dan pedesaan.

BACA JUGA  Pemkot Palu Diminta Perhatikan Kesejahteraan Tenaga Kesehatan

Koordinator Divisi Pengorganisasian Perempuan KPKP-ST, Neny Setyawati, menambahkan bahwa kehadiran aktivitas pertambangan kerap diikuti peningkatan kerentanan sosial. Menurutnya, berbagai pengalaman di wilayah lain menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan berbasis gender, termasuk risiko eksploitasi seksual, prostitusi anak, penyebaran penyakit menular seksual, serta rusaknya relasi sosial komunitas.

“Kondisi ini memperdalam ketimpangan gender dan menempatkan perempuan pada posisi yang semakin tidak aman, baik secara ekonomi, sosial, maupun kesehatan. Ini adalah bentuk kekerasan struktural berbasis gender,” kata Neny.

Ia menegaskan bahwa kawasan Loli selama ini menjadi penopang kehidupan warga melalui pertanian dan perikanan subsisten, dengan peran penting perempuan dalam pengelolaan kebun campur dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. “Ketika tambang masuk, yang pertama terdampak adalah air, tanah, dan kesehatan. Beban itu paling besar ditanggung perempuan,” ujarnya.

BACA JUGA  Gubernur Sulteng: Tidak Ada Alasan Anak Sulawesi Tengah Putus Sekolah

Neny juga menyatakan bahwa bagi perempuan Loli, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber kehidupan, ruang pengasuhan, dan basis keberlanjutan generasi. “Tambang bukan pembangunan, tetapi upaya perampasan ruang hidup perempuan dan anak,” tegasnya.

KPKP-ST menuntut pengakuan dan perlindungan hak-hak perempuan atas tanah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang sehat. Organisasi tersebut menegaskan bahwa setiap kebijakan pembangunan harus mengedepankan prinsip keadilan gender, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan.

“Bagi perempuan di kawasan Loli Raya yang telah hidup dan membesarkan anak dari hasil kebun dan laut jauh sebelum tambang galian C datang, jangan atas nama pembangunan suara perempuan diabaikan dan dipinggirkan. Bagi kami, tambang dalam bentuk apa pun adalah bentuk kekerasan terhadap alam, terhadap perempuan, dan terhadap generasi mendatang,” tutup Neny.