Ratna Dewi Minta Bawaslu Provinsi Utamakan Komunikasi Terbuka
Madika, Jakarta – Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo meminta jajaran Bawaslu Provinsi yang menangani laporan dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pilkada mengutamakan komunikasi secara terbuka. Menurutnya perlu pengumpulan informasi secara lengkap dalam menangani laporan dugaan pelanggaran TSM.
“Sanksi pelanggaran TSM ini berat, (berupa) diskualifikasi pasangan calon. Untuk itu, konsultasi terbuka secara kelembagaan diperlukan. Bawaslu berharap tidak ada satu pun informasi yang terlewatkan akibat peristiwa yang sudah dilaporkan terkait pelanggaran administrasi politik uang secara TSM,” jelas dia saat memberikan pengarahan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanganan Pelanggaran Terstruktur Sistematis dan Masif yang dilakuan secara daring, Jumat (27/11/2020).
Perlu diketahui, dalam menangani dugaan pelanggaran TSM untuk pilkada hanya bisa dilakukan oleh Bawaslu Provinsi. Bawaslu Kabupaten/Kota dapat menerima laporan dugaan pelanggaran TSM, kemudian meneruskan kepada Bawaslu Provinsi. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 9 Tahun 2020.
Hingga saat ini, memang belum ada putusan pelanggaran TSM dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. “Sampai hari ini belum ada putusan karena masih dalam proses, seperti Kalimantan Tengah. Dalam beberapa hari ini belum ada kasus yang terbukti politik uang TSM karena belum ada yang sampai putusan terbukti melakukan politik uang,” tuturnya.
Dewi menjelaskan, apabila ada putusan pelanggaran TSM, maka KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota punya waktu 5 hari melaksanakan putusan Bawaslu sejak diterbitkan. Sanksi pelanggaran TSM yang mengakibatkan diskualifikasi peserta pilkada, lanjutnya, harus dilaporkan kepada Bawaslu dan diteruskan kepada Komisi II DPR RI.
“Ada perubahan nomenklatur dari Perbawaslu lama ke yang baru. Kita mengikuti nomenklatur yang digunakan dalam UU. Penjelasan UU menjadi pemahaman kita bersama. Yang punya wewenang untuk melakukan menindak penanganan pelanggaran ini adalah Bawaslu Provinsi dan Bawaslu RI,” jelas Dewi.
Dewi mengajak peserta rakornas yakni 34 koordinator divisi penangan pelanggaran dari 34 provinsi khususnya yang daerahnya menggekar Pilkada 2020 untuk bisa mendalami aturan perundang-undangan serta kendala yang dihadapi.
“Masih ada sisa waktu sampai 9 Desember, Bawaslu bisa memasukkan laporan politik uang. Bawaslu dapat membahas kendala yang dihadapi terkait menangani laporan pelanggaran administrasi yang terjadi secara TSM. Laporan dugaan pelanggaran TSM sudah harus diperiksa sejak awal ketika masuk laporan. Batas waktu penanganan 14 hari kerja. Contoh yang baik telah dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan sudah selesai 5 kasus, tetapi semua tidak maju sidang pendahuluan karena tidak memenuhi syarat,” ungkap Dewi.
Dia menyatakan bahwa pelapor dalam pelanggaran administrasi TSM ini adalah WNI yang sudah punya hak pilih atau pemantau pemilu. “Sampai hari ini Bawaslu belum mendapat informasi dari setiap provinsi berapa jumlah pemantau yang sudah terdaftar dan terakreditasi dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Informasi ini penting bagi Bawaslu RI,” sebutnya.
“Untuk melakukan proses pemeriksaan (yang tengah berlangsung), Bawaslu Bengkulu, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sudah melakukan praktik. Tidak sulit lagi memahami karena tidak ada perubahan mendasar dari Perbawaslu 9 inj,” tambab Dewi.
Menurut dia yang menjadi kekhawatiran ialah jika ada anggota (pimpinan Bawaslu daerah divisi selain penanganan pelanggaran) yang tidak punya atensi yang sama dengan koordinator divisi penanganan pelanggaran terkait penanganan pelanggaran administrasi TSM. “Karena harus dilakukan pemeriksaan melalui proses persidangan. Semuanya harus terlibat menjadi majelis sehingga pengetahuan tentang tata cara dan mekanisme penanganan pelanggaran, pengetahuan tentang syarat formil dan materiil, pengetahuan tentang objek pelanggaran TSM tentunya harus menjadi pengetahuan bersama ketua dan anggota, bukan hanya koordinator divisi (penanganan pelanggaran) saja,” tegas Dewi.(*)
Tinggalkan Balasan