Madika, – Lilitan hutang kian mendesak, terus memojokan masyarakat Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, untuk dengan terpaksa menerima ganti rugi atas lahan pertanian yang terendam karena dampak dari aktivitas pembangunan bendungan PLTA milik PT. Energy.

“Petani meko yang terakhir melakukan negosiasi dengan perusahan, kita terima saja meskipun yang dibayarkan tidak sesuai dengan kerugian. Karena sudah banyak yang masyarakat yang terdesak hutang.” ungkap Kepala Desa Meko, I Gede Sukaartana saat ditemui di rumahnya, Sabtu (10/09/2022) pagi.

Lanjut Gede, masyarakat menerima tiga kali pembayaran ganti rugi hasil panen masyarakat sejak dua tahun terakhir terdampak pengerjaan bendungan PLTA yakni 10 Kg perare, 15 Kg perare dan 15 Kg perare. Angka itu menurutnya sangat jauh dari hasil pertanian yang mampu diperoleh para petani, jika lahan mereka tidak terendam yakni 50 Kg perare dengan kisaran Rp8000 perKG.

Desakan untuk menerima ganti rugi yang jauh dari kata untung itu, kian menguatkan masyarakat untuk menerimanya. Selain terdesak lilitan utang, menyempitnya lahan pertanian akibat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang secara tiba-tiba mencaplok lahan pertanian seluas 329 hektar sebagai cagar alam, kian memperbesar niat masyarakat untuk sepakat menerima pengganti hasil panen mereka sejak 2019 silam.

BACA JUGA  Pengurus FKPPI Diharap Mampu Bersinergi Dengan Stakholder di Sulteng

“Ada 329 hektar lahan yang diklaim menjadi cagar alam. Kapan penentuannya  sebagai cagar alam. Langsung ada patok cagar alam, kapan pengukurannya kami tidak pernah diberi informasi,”lanjutnya.

Diakuinya juga, beberapa kali telah mengeluarkan surat agar memberi tenggang waktu bagi masyarakat untuk melunasi utang. Seiring berjalannya waktu, desakan untuk melunasi hutang kian menguat, menyebabkan 71 petani dengan luasan lahan garapan mencapai kurang lebih 100 hektar, dengan berat hati menerima keputusan sepihak penetapan ganti rugi atas hasil panen lahan yang mereka miliki.

“Sedangkan petani setiap mengolah sawah meminjam modal, ketika panen akan diganti dengan penjualan beras. Ketika sawah terendam masyarakat sudah tidak bisa bayar hutang. Saya sudah berapa kali membuat surat penangguhan, tapikan jangka waktu yang diberikan tidak terlalu lama. Maka dengan berat hari kami sepakat menerima keputusan dari poso energy,”jelasnya.

I Made, salah satu warga pemilik lahan pertanian di Desa Meko menunjukan lokasi pertanian yang telah ditumbuhi rumput akibat tidak dapat diolah karena genangan air danau Poso yang menutupi lokasi pertanian milik warga. FOTO : Redaksi

Putus

BACA JUGA  Kepala BRIDA Dikunjungi Wadek FMIPA Untad

Bak seperti nasi telah menjadi bubur, banyak anak-anak petani di Desa Meko tak lagi dapat melanjutkan pendidikan, meski ganti rugi tak sebanding telah diberikan oleh Poso Energy. Seperti yang dialami anak kedua ibu Margareta (40) yang harus menghentikan kuliahnya karena terkendala biaya. “Anak saya ada tiga, yang pertama sudah berkeluarga, yang terakhir , yang kedua kemarin kuliah di Jakarta tapi sekarang putus karena dana, sekarang ikut saya kerja,”tuturnya.

Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya ini pun, harus bekerja ekstra lebih keras Ketika lahan pertanian miliknya tak lagi bisa digarap. Menjadi buruh harian, hingga bekerja sebagai pemecah batu pun dilakukannya demi memenuhi kebutuhan hidup. Meski menurut Margareta, penghasilan yang diperoleh tidaklah menentu seperti saat menggarap lahan pertanian.

Sebab, ia tak selalu mendapat panggilan untuk menjadi buruh harian dengan upah Rp80.000 perhari. Begitupun menjadi pemecah batu, tak hanya membutuhkan tenaga ekstra, hasil yang diperoleh tak menentu tergantung permintaan. Meski jika melihat proses dari mengumpulkan batu hingga menghasilkan batu pecah, tidaklah sebanding dengan nominal yang diperolehnya.

BACA JUGA  Nasib Pesepak Bola Palu, 'Mengemis' Demi Mengharumkan Nama Daerah

“Satu kubik batu itu Rp250 ribu. Lama kadang baru laku, biasa satu bulan, tiga bulan kadang sampe setengah tahun. Tapi biarpun lama itu simpanan kami, yang sewaktu-waktu bisa menghasilkan.”lanjut Margaeta.

Hal serupan dialami I Made, bapak tiga orang anak ini mengaku sang anak terpaksa harus berhenti satu tahun kuliah karena terkendala biaya. Macetnya perekonomiannya pun disebabkan lahan garapannya tak lagi bisa diharapkan menjadi  penghasilan pasca terendam luapan air danau poso yang tak lain merupakan dampak dari pengerjaan bendungan PLTA Poso .

Bekerja serabutan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan demi bertahan hidup, lahan 3 hektar penghasil 5,5 ton beras miliknya hanya menjadi kenangan penghasil pundi rupiah. Meski telah menerima ganti rugi poso energy, namun uang yang diterima hanya untuk menutupi hutang yang kini tersisa Rp13 juta.

“Anak sempat berhenti kuliah satu tahun karena biaya. Uang yang diterima kemarin hanya untuk bayar utang, itupun masih kurang Rp.13 juta,”tutunya.(Sob)