Entitas Budaya di Danua Poso Mulai Dihanyutkan
Madika, Poso – Suara gemuruh puluhan alat berat menjadi akrab sejak beberapa tahun terakhir di area muara danau Poso. Aktivitas pengerukan muara danau perlahan dan pasti mulai menghanyuntkan beragam kearifan lokal, budaya hingga situs sejarah yang nilainya tak dapat di rupiahkan.
Gerakan perlawanan digaungkan, semangat menggebu mempertahankan warisan leluhur diteriakan. Prinsip itu teguh tertanam di nurani para sepuh yang menamakan diri Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP). Seluruh elemen ada di dalamnya, mereka bukan gerombolan yang muncul dengan kepentingan perut pribadi.
Mereka melawan bukan karena benci investasi, mereka berteriak bukan untuk dihargai, mereka ada demi menjaga mandat leluluh. Menjaga sesuatu yang tak bisa dibuat dalam hitungan tahun seperti bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).‘’Kami terus mengingatkan mereka. Ada situs budaya yang hilang. Ada petani yang makin susah dan ada alam yang akan rusak. Kami terus mengatakan itu. Tapi diabaikan,”tutur salah satu anggota APDP, Pdt Wuri (66), dalam sebuah pertemuan bersama sejumlah wartawan, (13/09/2022).
Tradisi Mosango dan Monyilo telah ditimbun. Cara menangkap ikan menggunakan alat dari bambu setinggi dada orang dewasa dan menggunakan tombak itu tak lagi dapat dijumpai. Kompo Dongi, lokasi yang menjadi berlangsungnya tradisi itu perlahan terus ditimbun. Terletak di Kelurahan Tentena, Kecamatan Pamona Pusalemba wilayah itu akan diubah menjadi Taman Konservasi oleh PT Poso Energy.
“Sudah menjadi tradisi kami mosango dan monyilo. Bukan hanya sekadar menangkap ikan, tapi disitu ada nilai kebersamaan yang kuat. Semua orang dari berbagai wilayah datang ikut serta, bukan persoalan dapat ikan. Tapi akhir dari tradisi itu yang sangat kental dengan kebersaamaan ya itu makan bersama dari semua kalangan yang datang,” ugkap Tokoh Adat Pamona, Kristian Bontinge.
Kini giliran waya masapi atau pagar sogili mulai di ‘hanyutkan’ perlahan. Bukti nyata itu adalah rangkaian kecil hilangnya entitas budaya di danau Poso. Belum lagi jika melihat kebelakang, ujicoba bendungan PLTA milik PT Poso Energy telah menenggelamkan dan merusak banyak situs sejarah.
Belum lagi jembatan Yondo mPamona yang tak lagi menggambarkan semangat gotong royong. Jembatan itu tak sekadar menjadi fasilitas penghubung, namun makna dari berdirinya yang solid akan semangat gotongroyong telah sirna. Rangkaian jembatan dari kayu itu bukan dibangun oleh satu kelompok, namun melibatkan banyak warga dari berbagai desa di Poso dan Tentena tanpa ada nilai pamrih.
Salah satu anggota APDP menjelaskan, jika ingin memperlihatkan sejarah kekuatan dan semangat gotong royong warga Kabupaten Poso cukup melihat jembatan Yondo mPamona yang dulu.”Sekarang tidak ada lagi tempat bersejarah seperti itu,”celetuk anggota APDP Yuser Bujalemba.
Meski sadar melawan penguasa dengan barisan pengawal yang solid, mereka teguh dengan keyanikan yang dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Layaknya mencari penghidupan tanpa melihat dan mempertimbangkan dengan matang penghidupan tuan rumah. Perlahan memaksa mengganti perabotan serta dekorasi pemilik rumah. Seperti itulah kondisi yang dirasakan, patutlah mereka lantang melawan. Sebab budaya adalah identitas dan entitas keberadaan suatu kaum, jangan paksakan replika menjadi penerjema budaya yang masih bisa dipertahankan.(Sob)
Tinggalkan Balasan