Madika, Palu – Lazimnya pada hubungan pernikahan, pasangan berharap agar keluarganya menjadi keluarga yang bahagia. Belahan jiwa yang bisa saling melengkapi, melindungi dan menjaga. Namun, angan tidak bisa selalu sama dengan realita. Ada keluarga dengan kondisi yang tidak bisa sempurna bahkan, perempuan seringkali menjadi korban hingga mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam sebuah webinar ruang keluarga yang diselenggarakan Rumah Keluarga Indonesia (RKI) PKS Surabaya pada Jumat (27/01/2023), Salah seorang psikolog, Sinta Yudisia menjelaskan, kekerasan dalam rumah tangga atau domestic violence jadi salah satu kriminalitas paling terselubung karena ikatan yang kuat antara pelaku dan korban. Sinta mengurai penyebab utama KDRT ada tiga.

Pertama, tekanan psikis akibat ekonomi. Ini menjadi alasan paling banyak yang ia temukan pada klien yang ia tangani. Kedua, tekanan psikis akibat kendala psikologis yang berat. Misalnya tidak bisa mengelola emosi dengan baik akibat tekanan internal maupun eksternal dari luar rumah tangga.

“Misalnya pelaku melihat di media sosial contoh suami yang sempurna kemudian ia merasa tidak bisa menjadi sosok pasangan sempurna dan marah-marah. Hingga terbiasa membentak atau melakukan kekerasan kepada keluarga akibat perasaan gagalnya,”kata Sinta.

BACA JUGA  Lagi, Anggota DPRD Palu Ini Bantu Mobil Ambulance Untuk Warga

Ketiga menurut Sinta, KDRT dipicu juga oleh pola asuh di masa yang tidak ideal. Contohnya pelaku tumbuh di keluarga dimana terbiasa melihat kekerasa baik verbal maupun non verbal dari ayah ke ibu maupun sebaliknya. Sehingga ia melakukan hal demikian kepada pasangannya karena merasa cacian, bentakan dan kekerasa lainnya merupakan hal lumrah.

Sinta kemudian menyoroti data KemenPPPA bahwa ada 18.261 kasus KDRT selama tahun 2022 kemarin dimana 20 % korbannya adalah laki-laki. Ia berasumsi bahwa hal ini didorong karena saat ini perempuan sudah mulai berani mengambil posisi. Misalnya suami lemah dalam sisi ekonomi maka istri yang memiliki powerfull akan melakukan penganiayaan secara kata-kata.

“Bisa juga karena pola kepribadian laki-laki yang introvert kemudian mendapat pasangan yang kebetulan sangat dominan,” ungkap Sinta.

Selanjutnya Sinta menjelaskan indikator terjadinya KDRT ialah ketika sudah ada jejak fisik kelihatan. Seperti memar, berdarah atau luka fisik yang terjadi pada dua artis yang menjadi korban KDRT baru-baru ini.

BACA JUGA  Masih Banyak Pemilik Restoran di Kota Palu Main Kucing-kucingan Soal Pajak

Indikator kedua adalah ada perilaku yang bukan kekerasan fisik namun menyentuh sisi emosional  yang tidak masuk akal atau lazim. Misalnya, lazimnya tensi pasangan akan naik di akhir bulan, namun menjadi tidak lazim jika terus naik selama sebulan. Sehingga sikap menyakiti, meremehkan, melecehkan selalu terjadi.

Sehingga menurut Sinta, pengarsipan dalam rumah tangga menjadi sesuatu yang penting. Pengarsipan disini bukan hanya foto melainkan catatan perjalanan cita-cita, komitmen pernikahan, catatan finansial, psikologis, emosional apalagi kekerasan fisik, penting untuk disimpan.

Catatan ini akan membuat suami istri bisa mengevaluasi kenapa di tahun keenam pernikahan, perilaku pasangan berubah. Apa penyebab perubahan itu, apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi hubungan suami istri. Semuanya akan kelihatan dari catatan pernikahan yang ditulis.

“Karena psikolog dan ahli hukum bisa membantu mendampingi berdasarkan arsip yang jelas dari klien. Dan dari arsip ini kita sebagai mediator bisa menilai apakah kasus ini subjektif atau objektif dari suami maupun istri,” ujar Sinta

Selanjutnya Sinta mengungkapkan perceraian sudah harus dimasukkan dalam salah satu pilihan solusi KDRT apabila sudah benar-benar ada kekerasa fisik. Selanjutnya perlu ada mediator yang membantu korban dan pelaku membuat perjanjian tentang keamanan korban apabila memilih bertahan dalam rumah tangga.

BACA JUGA  Aplikasi Super Apps Resmi Diluncurkan, Ini Pesan Ketua Umum PB Alkhairaat

“Harus ada janji tidak melakukan kekerasan fisik dan psikis lagi. Karena bagi laki-laki yang sudah terbiasa dengan kekerasan perlu ada terapi intens untuknya. Sebab kekerasan itu sudah menjadi habit sehingga emosinya mudah dipicu jika ada konflik,” kata Sinta lagi.

Menutup sesi webinarnya, Sinta menjelaskan tiga hal yang bisa mencegah KDRT. Pertama, mencari tahu tipe kepribadian masing-masing. Kedua,  mencari tahu latar belakang keluarga. Misalnya, anak yang tumbuh di tengah keluarga militer umumnya tegas dan keras. Sehingga pasangan bisa belajar mengimbanginya dengan menurunkan ego. Terakhir adalah sering menambah pengetahuan baik melalui membaca, seminar maupun webinar keluarga sehingga  bisa mengantisipasi konflik yang menimpa.

“Jadi, apakah perempuan yang harus selalu mengalah? Oh tidak. Menurunkan ego harus dilakukan bagi siapapun dalam hubungan suami istri yang mau membuat perbaikan dalam rumah tangganya,” tutup Sinta.(*)