Madika, Palu – “Alasan mereka kami tidak punya alas Hak, jadi tidak bisa dapat Huntap (Hunian Tetap,red). Kami ingin diberi solusi. Karena sudah lima tahun tidak ada kepastian, kita ini mau ditempatkan kemana.”

Sepenggal kalimat itu diutarakan Nerlan (32), penyintas asal Kelurahan yang masih menempati Hunian Sementara (Huntara) di belakang area terminal Mamboro.

Ibu tiga anak ini, sebelumnya adalah warga yang bermukim di kompleks ebony. Kawasan pemukiman bagi karyawan perusahan PT. Sulawesi Ebony Sentra, berlokasi di sekitar area pesisir Kelurahan Mamboro. Hunian yang ditempati selama tahun itu rata dengan tanah, tak ada sedikitpun tersisa ketika bencana alam 28 September melanda.

Kondisi itu memaksa dirinya bersama warga di kompleks tersebut berpindah-pindah untuk bernaung. Mulai dari menempati tenda pengungsian hingga akhirnya menetap selama lima tahun di hunian sementara, yang kini menjadi satu-satunya tempat melepas penat bersama keluarga.

Sempat Terdaftar Sebagai Penerima Huntap

Di awal proses verifikasi penerima Hunian Tetap Budha Tzu chi, nama Nerlan bersama warga kompleks ebony sempat terdata dan masuk sebagai calon penerima. Seiring berjalannya proses verifikasi, nama Nerla dan beberapa rekannya hilang.

Diakuinya, seluruh dokumen persyaratan mulai dari Kartu Keluarga, KTP hingga surat keterangan dari Perusahaan atas keabsahan dirinya bermukim di lokasi tersebut telah dilengkapi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) selaku leading sektor pendataan pun, meyakinkan jika seluruh dokumen miliknya sangatlah kuat untuk mendapat hunian tetap.

“Setelah pencabutan blok, akhirnya nama kami hilang. Alasannya surat penyerahan itu tidak memenuhi syarat untuk mendapat Huntap. kami protes, kenapa tidak dari awal disampaikan, kenapa nanti sudah pencabutan blok.” Kenangnya dengan suara lirih.

Protes hingga mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas ) dan Ombudsman , pernah ditempuhnya. Namun hal itu seakan sia-sia. Nerlan bersama warga Kompleks ebony tetap tak mendapat kejelasan Huntap.

Rasa tak terima kian mengebu-gebu batinya. Orang yang bukan korban terdampak langsung plus warga di kompleks itu justru mendapatkan Huntap. Padahal diakuinya, mereka yang menerima Huntap menggunakan data yang sama seperti mereka.

“Kenapa yang bukan korban bisa dapat Huntap. Mereka bukan tinggal kompleks kami, padahal mereka gunakan data warga disitu. Jelas kami protes, karena kami korban justru tidak dapat,” ungkapnya.

BACA JUGA  Reses Di Ujuna, Warga Minta Perbaikan Drainase dan Revitalisasi Jalan ke Ahmad Umaiyer

Cacat Permanen Hingga di PHK Perusahaan

Tak hanya kehilangan hunian. Bencana 28 September juga membuatnya harus mengalami cacat dibagian kaki kananya, akibat terkena material saat tsunami. Tumitnya yang robek, membuat Nerla terpaksa harus berjalan sedikit pincang saat melakukan aktivitas sehari-harinya.

“Waktu itu saya sementara mengandung anak ketiga, kalau tidak salah usai tujuh bulan. Jadi luka di kaki ini baru diobati sekitar dua minggu pasca bencana. Sekitar enam bulan saya tidak bisa jalan. Sekarang pun masih terasa, apalagi kalau dingin, pasti ngilu kaki saya.” Kata Nerlan sembari menunjukan bekas jahitan lukannya.

Kondisi perekonomian yang belum pulih sepenuhnya pasca bencana, menambah rentetan kemalangan keluarganya. Irwan Dawali sang suami yang merupakan warga asli Kelurahan Taipa harus di rumahkan oleh perusahan tempatnya bekerja. Kondisi ini kian mempersulit keluarganya untuk membangun rumah secara pribadi, meski harapan akan hal itu masih terus terbenak.

“Sampai sekarang suami kerjanya serabutan. Ini sementara menganggur, karena belum ada panggilan kerja. Jadi kalau mau bangun rumah sendiri masih agak susah. Untuk memenuhi hidup sehari-hari saja masih susah, cuman tetap disyukuri,” lanjut Nerlan.

Silakan Kembali Ngontrak

Masalahan Hunian bagi warga yang tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan seakan tak memiliki solusi. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah , Persly Tampubolo hanya menyarankan mereka untuk kembali ngotrak.

Diakuinya, berdasarkan skema penerima Huntap sudahlah sangat jelas. Tidak ada ruang bagi warga yang tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan sebelum bencana untuk mendapatkan Huntap.

“Kalau yang ngontrak yah kembalilah ngontrak. Dalam arti enggak bisa masuk Huntap, karena persyaratannya kan harus kepemilikan rumah, terdampak pemiliknya dan harus direlokasi.” Kata Persly.

Opsi mencarikan solusi bagi mereka hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kepala Daerah. Persly mengaku, Wali Kota Palu Hadinato Rasyid akan berupaya membangunkan hunian bagi para korban melalui pembiayaan non APBD seperti CSR Perusahaan ataupun bantuan NGO.

BACA JUGA  Pemkab Poso Gandeng Masyarakat Sipil Kelola Hutan Secara Berkelanjutan

Rencana itu diakuinya baru sebatas opsi bagi para penyintas yang sebelumnya ngontrak tetapi masih memiliki lahan. Diakuinya, BPBD tidak berani mengambil sebuah kebijakan tanpa dasar yang nantinya akan mempersulit semua pihak.

“Supaya jangan mengalami penyalahgunaan kebijakan dengan menggunakan pembiayaan pemerintah tanpa dasar peraturan yang pas. Nah ini kan agak sulit mencarinya seperti itu itu, maksudnya tadi Tetapi kalau misalnya di luar kebijakan keuangan pemerintah. Nah, misalnya ada bantuan-bantuan NGO atau bantuan dari komunitas-komunitas lainnya. Nah itu yang perlu kita jajaki sebagai sebuah kebijakan,” papar Persly.

Distribusi Huntap Baru Mencapai 44 Persen

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu, Hunian tetap yang telah didistribusikan kepada korban yang berhak baru mencapai 44 persen, dari data penerima Huntap mencapai 4.800 Kepala Keluarga atau  berkisaran diangka 2.067 kepala keluarga setelah lima tahun pasca bencana.

“Ya hampir 44%, artinya masih ada di atas 50% atau 2.800 penerima lagi.” Ungkap Presly.

Lanjut Presly , “Yang sedang proses dalam pembangunan dan berdasarkan penjelasan dari kasatgas bahwa posisinya sudah di atas 75%. Rencana kita sesuai dengan instruksi ibu Direktur Rumah Khusus tadi dari Kementerian PUPR, kita harus melakukan finalisasi pembangunan ini pada kisaran akhir Desember 2023.”

Penyerahan Huntap pun akan dilakukan mulai 2024, meski progress pembangunan belum rampung sesuai dengan target yang ditentukan.

“Mudah-mudahan enggak ada keterlambatan dan mulai awal 2024 Kita harus melakukan relokasi-relokasi secepatnya khususnya pada Huntap yang sudah bisa dihuni oleh warga. Supaya jangan dulu berpikir selesai 100% baru kita melakukan relokasi,” pungkasnya.

Lemahnya Koordinasi

Terlepas dari masa transisi kepemimpinan hingga data yang tidak valid, banyak pihak menilai jika pasca bencana di Kota Palu sangatlah lamban. Hal itu tidak dapat dipungkiri dari data korban yang belum mendapatkan haknya, bahkan penanganan bencana Kota Palu disebut-sebut jauh lebih lamban dibandingkan bencana Aceh dan NTB.

“Lamban sekali. Ini sudah lima tahun, masih ada hak-hak masyarakat yang belum terselesaikan. Bayangkan itu Aceh dan NTB begitu cepat diselesaikan, sementara kita sudah mau lima tahun masih ada hak-hak yang tidak tertunaikan.” Kata Wakil Ketua II , Dr. Rizal Dg Sewang.

BACA JUGA  FDL 2025 Dituding Plagiasi, Hasan Bahasyuan Institute Resmi Hengkang

Selaku mitra, DPRD telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mempercepat proses penanganan pasca bencana. Pansus yang hingga kini belum dibubarkan, menurut Rizal seakan tidak pernah digubris kehadirannya.

“Kalau memang ada kendala, kami di DPRD kan bisa bantu. Misalnya kendala di Kementerian, kami punya keterwalian di DPR RI. Kenapa tidak kita melalui jalur mereka untuk membantu masyarakat, tapi faktanya baru ditanya soal progress selalu saja ada alasannya,” ungkap Rizal.

Senada, anggota Pansus rehab rekon , Muslimun menjelaskan ada beberapa faktor menjadi penyebab lambannya penanganan pasca bencana berdasarkan hasil kajian Pansus. Pertama masalah gugat lahan, kedua Pemerintah Kota dianggap jarang mendesak Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan hak para korban.

“Harusnya rajin berkoodinasi dengan Provinsi dan Pusat, ini uang pusat. Semua lari-larinya ke Provinsi, walaupun Kota ada wilayahnya. Soal kewenangan yang lemah, lemah mengintervensi, lemah mengawasi. Harusnya pak Wali rajin berkoordinasi, jangan OPD nya saja. Akan beda kalau Kepala Daerah yang mendesak. Jadi ini problem yang menurut saya jadi faktor keterlambatan pasca bencana ini,” kata Kimun sapaan akrabnya.

Pansus yang telah berumur empat tahun, menurut Kimun hanya sekali diajak untuk berkordinasi dengan Pemerintah Provinsi.

Sejumlah rekomendasi Pansus hasil aspirasi penyintas juga kerap disampaikan ke Pemerintah Kota. Namun hal itu diakuinya tidak memberi dampak signifikan terhadap percepatan pasca bencana.

“Kalau rekomendasi banyak yang sudah kami buat. Tapi mau diapa, kami tidak memiliki kewenangan eksekusi.” Tegasnya.

Persoalan bencana diakuinya juga bukan hanya sekadar memberi hunian layak kepada para korban, tetapi hal paling mendasar juga perlu diperhatikan oleh Pemerintah.

“PR utama kita, soal penghidupannya. Yang terberat, memanusiakan manusia ini bukan hanya rumah, bagaima penghidupannya, bagaimana dengan ekomoninya.” Tandasnya.

Penulis : Sobirin