Sebagian Besar Wilayah Kota Palu Masuk Zona Rawan Gempa
Madika, Palu – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut wilayah Kota Palu memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap gempa bumi.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap tingginya kerentanan ini termasuk lokasinya yang terletak di antara tiga lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Indo-australia, lempeng Asia, dan lempeng Pasifik. Kondisi geografis seperti ini memperbesar risiko terjadinya gempa bumi di wilayah tersebut.
Kondisi batuan di Sulawesi Tengah, terutama di Kota Palu, memang menjadi faktor penting dalam tingginya kerentanan terhadap gempa bumi.
Daerah pertemuan lempeng Palu Koro menjadi area yang lebih berisiko terkena gempa bumi karena aktivitas tektonik di wilayah tersebut.
Berdasarkan peta mikro zonasi kerentanan tanah yang disediakan oleh BMKG, zona merah yang mencerminkan kerentanan tinggi terhadap gempa bumi berlaku di seluruh Kota Palu.
“Kalau kita lihat dari mikro zonasi yang sudah kita ajukan, Kota Palu zona merah, artinya semuanya,”Tutur Kepala Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Kelas 1 Palu, Sujabar saat menjadi narasumber dalam Talk Show Kebencanaan Bincang Zona Rawan Bencana, Sabtu (1/9/2023).
Berdasarkan catatan tiga tahun terakhir, angka kegempaan yang tinggi di Sulawesi Tengah, dengan lebih dari 1000 kali gempa setiap tahun dan 1200 gempa pada September 2023, menunjukkan bahwa wilayah ini memang memiliki tingkat aktivitas gempa yang cukup tinggi.
Lebih lanjut penting untuk dicatat bahwa, meskipun wilayah ini memiliki batuan yang rentan terhadap gempa, tidak semua wilayah di Kota Palu harus dihindari atau tidak dimanfaatkan sama sekali.
Menurutnya, pemahaman melalui mikro zonasi dapat membantu dalam menentukan daerah-daerah yang lebih aman untuk pengembangan infrastruktur dan tata pembangunan.
Ia menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam memanfaatkan data dan saran dari BMKG terkait kerentanan terhadap gempa di Kota Palu.
“Meskipun Kota Palu memiliki risiko gempa yang tinggi, bukan berarti wilayah ini tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Dengan adanya data dan rekomendasi dari BMKG, pemda memiliki kesempatan untuk mengambil tindakan yang tepat guna meningkatkan keselamatan dan pengembangan wilayah.” Jelasnya.
Sementara Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Sulawesi Tengah melalui Farid Isra menyebut, pasca bencana ini pemanfaatan ruang telah termuat dalam peraturan daerah yang berbasis mitigasi bencana.
“Seluruh rencana tata ruang telah termuat dalam perda berbasis mitigasi bencana,” Katanya
Di tempat yang sama, Pemerhati Kebencanaan Sulawesi Tengah, Abdullah mengatakan mitigasi bencana seyogyanya dipisahkan dalam 3 (tiga) konteks bencana. Diantaranya mitigasi pencegahan, mitigasi fisik terkait hunian dan infrastruktur, dan mitigasi non-fisik atau kultural manusia.
Selain itu, persiapan kesiapsiagaan seperti titik-titik evakuasi, titik ukur, dan simulasi sangat penting untuk memastikan bahwa penduduk lokal tahu bagaimana bertindak saat terjadi bencana.
“Jadi tugas kita disini, kami ragu di RTRW sudah di muat seperti ini,” ujarnya.
Penulis : Qila
Tinggalkan Balasan