Perda No.14/2019, Bisa Tekan Angka Perceraian
Madika, Palu– Tingginya angka perceraian di Sulawesi Tengah, menjadi salah satu catatan yang mengilhami lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Ketahanan Keluarga. Dengan demikian, lahirnya Perda tersebut diharapkan dapat menekan angka perceraian.
Hal itu disampaikan Anggota DPRD Sulawesi Tengah, Hj Fatimah Hi Amin Lasawedi, saat melaksanakan sosialisasi mandiri Perda No.14 Tahun 2019 tentang Ketahanan Keluarga, di Kabupaten Tojo Unauna, Jumat 23 April 2021.
Dalam sosialisainya, Fatimah Lasawedi menyoroti tingginya perceraian yang terjadi di Desa Kabalutan kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Tojo Unauna, sehingga desa tersebut kerap dijuluki “kampung janda”. Pasalnya, fakta di lapangan menggambarkan maraknya perceraian dialami oleh pasangan belia, disebabkan praktik nikah di bawah tangan.
“Berdasarkan data tahun 2016, terdapat kurang lebih 160 janda yang berada dikisaran rentang usia 15-30 tahun, dari total 1000 lebih KK yang mendiami pulau tersebut. Maraknya perceraian umumnya sangat dipengaruhi budaya pikir masyarakat yang masih sangat rendah pemahamannya tentang sakralitas dalam pernikahan. Gampang terjadinya pernikahan, membuka celah mudahnya perceraian sehingga berdampak pada posisi kaum wanita sebagai pihak yang paling dirugikan,” kata politisi PKS tersebut.
Melalui Perda Ketahanan keluarga, Fatima Lasawedi memberi ulasan beberapa indikator utama dalam merawat ketahahan keluarga. Paling tidak ada tiga catatan penting yang diterangkan dalam sosialisasi yang dilakukan di Ampana tersebut.
Pertama, adanya legalitas dalam artian bahwa setiap wanita yang hendak menikah harus memastikan dirinya terdaftar di KUA (Kantor Urusan Agama) sebagai calon pasangan suami istri yang sah di mata hukum, dan harus tegas menolak ajakan nikah yang tidak terdaftar, karena akan berdampak pada status anak yang lahir nantinya.
Kedua, adalah keutuhan keluarga dimana setiap kehidupan berumah tangga harus dibangun dengan hubungan harmonis, pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Ketiga, kemitraan gender antara suami dan istri baik di wilayah publik maupun domestik, baik dalam hal pengelolaan keuangan hingga rencana jumlah anak dalam keluarga, semuanya harus diatur dalam prinsip-prinsip yang manusiawi dan bermartabat demi terciptanya ketahanan keluarga.
Sosialisasi yang didominasi perempuan tersebut mendapat apresiasi dan dukungan dari peserta, karena tidak sedikit para peserta yang hadir merupakan korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), nikah siri, penelantaran hingga korban pelecehan seksual. Sehingga dengan adanya sosialisasi tersebut, memberikan sumbangan pengetahuan baru bagi mereka yang telah menjadi korban dari praktek penikahan yang buruk.
“Saya mengajak kepada kita semua, bahwa pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, dimana perempuan harus terdidik, berkesempatan besar untuk berkarir dan tampil di sektor publik, tidak terdomestifikasi oleh budaya dan tradisi konservatif, harus kritis dan berprestasi karena perempuan adalah tiang negara,” tandasnya.(win)
Tinggalkan Balasan