Madika, Jakarta – Yayasan TIFA melalui program Jurnalisme Aman merilis laporan hasil kajian mendalam mengenai kekerasan terhadap jurnalis di tiga wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi, yaitu Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

Laporan tersebut disampaikan dalam acara Konsultasi Forum Nasional bertajuk “Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis di 3 Region”, Selasa (5/8/2025), di Jakarta.

Dari 55 jurnalis yang diwawancarai secara mendalam di ketiga wilayah tersebut, seluruhnya mengaku pernah mengalami kekerasan atau ancaman saat menjalankan tugas jurnalistik, baik dalam bentuk fisik, verbal, maupun digital. Bahkan, 65 persen di antaranya menyatakan sering atau kadang-kadang mengalami kekerasan atau intimidasi, yang berdampak langsung pada rasa aman dan cara mereka bekerja di lapangan.

Arie Mega, Project Officer Jurnalisme Aman, mengungkapkan bahwa jenis kekerasan yang dialami para jurnalis bervariasi di masing-masing daerah.

BACA JUGA  Kegiatan IMI Sulteng Harus Beragam di Tengah Pandemi
  • Di Aceh, bentuk kekerasan dominan adalah intimidasi verbal, larangan liputan, perampasan alat kerja, serta kekerasan pasca publikasi.
  • Di Sulawesi Tengah, jurnalis kerap mengalami kekerasan fisik saat meliput demonstrasi dan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi, serta pelecehan seksual.
  • Di Papua Barat Daya, kekerasan bersifat multidimensi, berbasis ras, gender, dan politik.

Arie menambahkan bahwa upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih terfragmentasi. Ia menyoroti bahwa Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum diimplementasikan secara konsisten di daerah.

“Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan tidak tersedia atau tidak diketahui aparat, dan sistem aduan yang aman belum tersebar merata,” tegas Arie.

Arie menilai perlindungan terhadap jurnalis masih bersifat simbolik, meskipun secara normatif didukung regulasi kuat.

BACA JUGA  Ketua HPA Sigi Bantah Keterlibatan dalam Kontroversi Muktamar Alkhairaat

Ia menyebut minimnya pemahaman aparat, ketidaktegasan Kementerian Kominfo sebagai regulator digital, serta lemahnya kepemimpinan politik sebagai faktor utama lemahnya perlindungan substantif terhadap kebebasan pers.

Yayasan TIFA merekomendasikan empat langkah strategis untuk melindungi jurnalis di Indonesia:

  1. Membentuk Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ) yang melibatkan lintas sektor dan didukung anggaran negara.
  2. Membentuk unit khusus di Polri dan Kejaksaan yang menangani kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi terhadap jurnalis.
  3. Memperkuat mekanisme pemulihan korban, mencakup bantuan hukum, psikososial, dan perlindungan digital.
  4. Memperkuat Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) di tingkat daerah.

Ketua Umum AJI, Nani Afrida, menyatakan bahwa kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi persoalan serius. Ia menilai kebebasan pers di Indonesia sedang mengalami tekanan.

BACA JUGA  Gunakan Lensa Summilux Leica, Xiaomi 14 Alternatif Handphone Canggih selain iPhone

“Kondisi negara kita sudah mengarah ke otoritarian. Jurnalis makin takut melaporkan kebenaran. Kalau ini terus terjadi, masyarakat akan tersesat oleh propaganda dan disinformasi,” ujarnya.

Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Komnas HAM, Imelda Saragih, menegaskan bahwa kebebasan pers dan berekspresi dijamin konstitusi.

Ia menyebut serangan terhadap jurnalis sebagai bentuk pelanggaran HAM yang dapat menimbulkan chilling effect bagi masyarakat.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Abdul Manan, menekankan pentingnya membentuk satuan tugas lintas lembaga untuk menangani kekerasan dan memperbaiki ekosistem kerja jurnalis.

Ia mencatat bahwa dalam pertemuan di Jakarta pada 24 Juni lalu, baru tiga lembaga yang menandatangani komitmen bersama, yaitu Dewan Pers, LPSK, dan Komnas Perempuan.