Wiwik Soroti Rakor Covid-19 Pemda Tanpa Hasil
Madika, Palu – Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus pengawasan penanggulangan Covid-19 dalam rangka pembahasan rencana kerja, rencana aksi dan evaluasi kegiatan penanggulangan, penanganan Covid-19 bersama mitra terkait, Senin 2 Agustus 2021 menjadi anti klimaks bagi Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulawesi Tengah, Wiwik Jumatul Rofi'ah.
Pasalnya, RDP yang dilaksanakan secara virtual tersebut, paparan Satgas Covid-19 Sulawesi Tengah jauh dari harapannya.
Wiwik sedari awal menaruh ekspektasi, Satgas Covid-19 sudah memaparkan rencana detil menyelesaikan pandemi Covid-19, bahkan Asisten I Sulawesi Tengah Faisal Maang dalam RDP mengaku sudah dua kali pemerintah provinsi melaksanakan rapat koordinasi dengan pemerintah daerah dan forkopimda.
Sayangnya apa yang diutarakan Faisal Maang itu, jauh dari kata solutif dalam menangani Covid-19, itu terlihat dari paparan peserta RDP khususnya di jajaran pemerintah provinsi, dimana dalam rapat anggota dewan hanya mendengarkan laporan lonjakan kasus, banyaknya permasalahan dilapangan tanpa ada solusi, bahkan rumah sakit harus merawat orang ditenda-tenda darurat karena over load, hingga naiknya harga regultaor dari biasanya Rp2,5 juta kini mencapai Rp3,8 juta.
“Apa yang disampaikan sesungguhnya jauh dari ekspektasi saya, apalagi Asisten I sudah katakan telah melaksanakan rapat koordinasi sebanyak dua kali. Tapi yang dipaparkan hari ini, hanya itu-itu saja, lonjakan kasus, rumah sakit sudah tidak nampung dan lain-lain,” ujar wiwik kecewa.
Harusnya lanjut Ketua Fraksi PKS DPRD Sulawesi Tengah ini, dua kali rapat koordinasi Pemda itu sudah dijabarkan dalam RDP ini upaya yang sudah dilakukan dalam pencegahan maupun penanggulangan Covid-19.
“Sebenarnya saya ingin mendengar dalam RDP ini, pemda ataupun Satga Covid-19 provinsi memberikan solusi kepada pemerintah kabupaten/kota, membantu meringankan persoalan mereka dilapangan. Sayangnya itu tidak terjabarkan hari ini,” kesalnya.
Mestinya Satgas membantu pemerintah kabupaten/kota dalam menyediakan Isman (isolasi mandari) terpusat di kabupaten/kota, karena biar bagaimanapun pemerintah kabupaten/kota memiliki keterbatasan.
“Pemda juga memperlakukan pasien juga tidak manusiawi dengan membiarkan pasien dirawat dilantai rumah sakit. Semestinya hotel-hotel sudah selayaknya dijadikan rumah sakit darurat, biar pasien, tenaga kesehatan (nakes) juga nyaman dalam menerima dan melayani perawatan,” tuturnya.(win)
Tinggalkan Balasan