Madika, Palu – Komisariat Wilayah (Komwil) Alkhairaat Sulawesi Tengah () menegaskan akan menempuh jalur peradilan adat untuk menangani ujaran kebencian yang dilakukan Fuad Plered terhadap , (Habib Idrus bin Salim Aljufri).

Langkah ini diambil karena hingga kini, laporan terkait kasus tersebut belum diproses melalui jalur hukum formal, meskipun berbagai pihak telah melaporkannya ke kepolisian.

Ketua Komwil Alkhairaat , Arifin Sunusi, menunjukkan keseriusan dengan intens berkomunikasi bersama Badan Musyawarah Adat (BMA) dan Pengurus Besar (PB) Alkhairaat.

Pada Kamis (3/4/2025), Arifin bertemu dengan Sekjen PB Alkhairaat, Jamaluddin Mariadjang, dan Ketua PB Alkhairaat, Asgar Basir Khan, di ruang rapat PB Alkhairaat untuk merumuskan poin penting dalam persidangan adat mendatang.

Sekretaris BMA Sulteng, Ardiansyah Lamasitudju, serta beberapa anggota lainnya, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

BACA JUGA  Koalisi Rakyat Sulawesi Tengah Desak Pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga

Arifin menegaskan bahwa konten di kanal YouTube yang berisi ujaran kebencian dan penghinaan terhadap membuatnya marah dan merasa perlu bertindak tegas.

“Dia tidak boleh berbicara sembarangan di media sosial, apalagi menyebarkan ujaran kebencian dan rasisme yang dapat memecah belah bangsa,” ujarnya.

Ia pun berdiskusi dengan Sekjen PB Alkhairaat untuk mencari solusi terbaik. “Saya memilih menempuh jalur peradilan adat untuk menghukum orang ini,” katanya.

Setelah mendapat persetujuan, ia mulai berkomunikasi dengan pemangku adat di Tanah Kaili, termasuk BMA Sulteng, yang merespons dengan baik.

Selain itu, Arifin bersama BMA Sulteng bersilaturahmi dengan Toma Oge Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, dan meminta agar peradilan adat dibuka. “Alhamdulillah, Bapak Longki Djanggola mendukung penuh langkah ini,” katanya.

BACA JUGA  Bansum DPRD Sulteng Jadwalkan Agenda Persidangan ke Tiga

Arifin mengungkapkan bahwa persiapan peradilan adat telah rampung, termasuk materi aduan yang akan disampaikan sebagai To Pangadu (Pengadu). “BMA sudah menetapkan peradilan adat akan digelar pada 10 April 2025,” ujarnya.

Ia berharap majelis hukum adat menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada Fuad Plered. , keberadaan Fuad di luar Sulteng tidak menjadi hambatan, karena dalam peradilan adat, putusan tetap berlaku meski Teradu tidak hadir.

Arifin menekankan bahwa masyarakat Tanah Kaili memiliki aturan adat yang mengatur sanksi bagi pelanggar norma, termasuk Salambivi dan Salakana.

Ia meminta sanksi Salakana Bangu Mate berupa Givu, yakni hukuman terberat dalam adat yang secara nilai berarti pemutusan kehidupan sosial.

BACA JUGA  Diskominfo Umumkan Anggota KPID Terpilih dan PAW

“Jika majelis adat memutuskan hukuman putus leher, secara adat orang ini dianggap mati di mata masyarakat Kaili,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa peradilan adat penting dilakukan karena telah menjadi bagian dari masyarakat Kaili. “Guru Tua menikahi putri Kaili dan memiliki keturunan di sini. Ketika kehormatannya dihina, kami sebagai masyarakat Kaili marah,” katanya.

Baginya, Guru Tua adalah tokoh pejuang yang telah mendedikasikan hidupnya untuk dan pencerahan masyarakat.

“Dulu, masyarakat kita ada yang masih animisme, lalu beliau datang membawa cahaya keilahian. Maka wajar jika kami marah ketika ulama kami dihina,” pungkasnya.