Madika, Surakarta – Alunan gendang mulai menggema, pelan namun memikat, seperti mantra yang dilepaskan ke halaman Pendopo Balai Kota Surakarta.

Dentumannya cukup untuk menghentikan langkah para pengunjung muda yang semula hanya melintas. Perlahan, mereka duduk melingkar di depan pendopo, seakan ada sesuatu yang sedang memanggil mereka.

Dari balik kerumunan, sepasang kaki kecil muncul, melangkah lincah, berani, dan penuh irama. Sorakan kecil pecah spontan, seolah penonton baru saja menyaksikan energi magis menemukan tubuh barunya.

Suasana itu menjadi penandan dibukanya International Mask Festival (IMF) 2025. Bukan lewat kata sambutan, melainkan oleh tubuh mungil yang membawa tradisi Reog Ponorogo, tepat pada malam 14 November 2025.

Antusiasme anak muda terus mengalir. Banyak pengunjung mengaku datang untuk menyaksikan grup musik Banda Neira, namun begitu tarian dimulai, mereka tampak antusias. Ada yang merekam, ada yang hanya terpaku, seakan baru disapa tradisi dari jarak seintim itu.

Usai pertunjukan pembuka, festival bergerak masuk ke pendopo seluas sekitar 3.500 meter persegi. Anak muda, keluarga, hingga wisatawan mulai berhimpitan mencari posisi paling nyaman.

Malam itu, berbagai wajah topeng dari Nusantara hingga mancanegara hadir dalam satu ruang yang sama.

Sorotan kemudian mengarah pada Sri Waluyo (48) dan istrinya, Cahwati Sugiarto, dua seniman asal Tegal.

Mereka membawa tari Topeng Cepak Tegal, karya yang lahir dari keprihatinan terhadap tari endel di kampung halaman mereka, perlahan tapi pasti, kehilangan roh dasarnya.

BACA JUGA  Janji Kampanye Jadi Prioritas, Anwar Hafid Siap Benahi Sulawesi Tengah

“Tari endel itu mentel (genit), kemayu (gemulai), menggoda. Tapi sekarang, yang ditampilkan sudah tidak sesuai konsep. Endelnya hilang,” ujar Sri Waluyo.

Keduanya lalu kembali menelusuri dasar tarian melalui wayang golek cepak tegalan, tradisi pesisir Tegal, Pekalongan, hingga Cirebon yang menjadi fondasi kuat bagi bentuk topeng dan gerak tari setempat.

Topeng buatan mereka menyimpan simbol-simbol lokal. Mata topeng, misalnya, terinspirasi dari ikan sungai yang disebut iwak sindikintil, satwa air dangkal di daerah Tegal.

“Kalau di air itu nggak kelihatan, cuma garis-garis. Itu yang jadi inspirasi mata dan alis topeng,” kata Waluyo.

Warna merah muda pun dipilih bukan sekadar estetika. Bagi mereka, warna itu adalah perlambang keberanian.

Baginya, topeng bukan hanya artefak seni, tetapi wajah masyarakat Tegal itu sendiri. Di sinilah seni menjadi cermin peradaban.

Namun mewujudkan gagasan itu ke bentuk fisik tidak mudah. Karena tak ada pemahat kayu di Tegal, mereka memesan topeng ke Solo. Topeng yang jadi pun mengalami revisi dua hingga tiga kali.

“Setelah jadi, ketika ditarikan kok tidak sesuai ekspektasi,” kenangnya. Perjalanan dua tahun akhirnya membawa mereka pada bentuk yang pas.

festival topeng solo
Komunitas Seni Denata Ponorogo membawakan tarian Reog Ponorogo saat pembukaan International Mask Festival 2025. FOTO: Sobirin

Pencarian itu bukan hanya teknis, tetapi juga spiritual. Waluyo mengaku menelusuri makam, candi, hingga kolam kerajaan di Pengging untuk menemukan karakter topeng.

BACA JUGA  DPW PKS Sulteng Berangkatkan Relawan ke Lokasi Banjir Sumatera

“Karena sepi, kita fokus. Kita cepat menemukan apa yang kita cari. Makanya saya kadang mengunjungi tempat-tempat yang orang bilang angker,” ujarnya.

Bagi pasangan ini, topeng bukan benda mati. Ia wadah. Ketika tarian dan topeng menyatu, muncul energi baru. Improvisasi mengalir, terutama saat diiringi musik live.

Waluyo bahkan mengaku, ada momen ketika ia merasa bukan istrinya yang berada di balik topeng.

“Ketika menari pakai topeng itu rasanya seperti bukan hawane dhewe (dirinya sendiri). Seperti bukan istriku yang menari,” ungkapnya.

Ayah satu anak itu juga tidak menampik bahwa ada ritual kecil sebelum naik panggung. Sabuk pemberian juru kunci salah satu makam masih dipakai sang istri saat tampil.

Ia menyadari tari Topeng Cepak Tegal yang mereka bawakan memang memuat unsur magis.

“Dipakai supaya lebih percaya diri,” katanya. Bukan mistik berlebihan, melainkan lakon yang menyertai keyakinan akan hidupnya tradisi.

Festival ini juga memberi ruang bagi penari muda. Salah satunya, Rendi (15) dari Komunitas Seni Denata Ponorogo. Ia belajar menari sejak TK, mengikuti jejak kakeknya yang seorang pembarong.

“Saya merasa tenang kalau menari. Kayak semua masalah hilang,” ujarnya.

Dengan pandangan yang terbatas oleh topeng, ia mengandalkan insting dan ketukan 1–8 untuk menjaga keselarasan gerak.

festival topeng solo
Seniman Malaisya membawakan taria topeng Pidau’ Di Lau di panggung International Mask Festival 2025. FOTO: Sobirin

Ia membawakan kisah Raja Klono Sewandono dan Dewi Songgolangit dengan percaya diri, membuktikan bahwa tradisi selalu menemukan pewarisnya.

BACA JUGA  Lurah Dianggap Tidak Transparan, Warga Segel Kantor Kelurahan Boyaoge

International Mask Festival bukan hanya sekadar medium pertunjukan kesenian tari topeng. Panggung tahunan ini menjadi wadah menyampaikan tradisi, cerita rakyat dan nilai sosial dari Sabang sampai Marauke hingga Mancanegara.

Kita menemukan wajah-wajah itu, wajah harapan, wajah pertaruhan batin, wajah humor dalam keseharian, hingga wajah para leluhur yang menjembatani kita pada akar budaya yang tak boleh terlupakan.

“Keindahan budaya bukan hanya untuk dipandang, tetapi untuk membentuk kita. Indonesia kaya bukan hanya pada ragam tradisi, tetapi pada jiwa dan nilai yang menyatukan perbedaan menjadi kekuatan.” Kata Ketua IMF 2025, Putri Pramesti Wigaringtyas.

Namun di tengah suasana festival internasional itu, tradisi lokal justru yang terasa paling kuat. Tari topeng Cepak Tegal dan Reog Ponorogo adalah rangakaian kecil para seniman untuk menyampaikan budaya Indoensia.

Festival ini bukan sekadar ajang menampilkan budaya topeng dari berbagai negara, tetapi memperlihatkan bahwa topeng adalah cara manusia memahami dirinya.

Bagi Sri Waluyo dan Cahwati, topeng adalah upaya mengembalikan identitas Tegal. Bagi Rendi, topeng adalah ruang menemukan ketenangan. Bagi generasi muda, topeng adalah pintu menuju pengalaman baru. Dan bagi tradisi, topeng adalah cara untuk terus hidup di tubuh generasi yang mungkin tak pernah mengenal sejarahnya.