Ketua DPW PKS Sulteng: Demokrasi dan Islam Tidak Perlu Dibenturkan
Madika, Palu – Relasi antara demokrasi dan Islam menjadi topik utama yang diangkat Ketua DPW PKS Sulawesi Tengah, Muhammad Wahyuddin, saat menjadi narasumber dalam pengajian rutin Lembaga Pengembangan dan Pendidikan Al-Islam Kemuhammadiyahan (LP2AIK) bersama Fisip Unismuh Palu, Sabtu (6/12/2025).
“Apakah nilai-nilai demokrasi itu compatible dengan nilai-nilai Islam. Bahkan tidak jarang kita banyak melihat upaya membenturkan antara demokrasi dengan Islam,” kata Ustadz Wahyu, sapaan akrabnya.
Di awal paparannya, Ustadz Wahyu mengutip pernyataan seorang politisi muslim yang menyinggung dinamika hubungan umat Islam dengan kekuasaan.
“Katanya, politisi Islam itu mengatakan apabila umat Islam itu menjalankan ibadahnya, maka biarkan bahkan fasilitasi mereka. Tetapi ketika umat Islam mulai masuk ke dalam ekonomi, harus diwaspadai. Dan ketika sudah mulai masuk ke urusan politik, segera tindaki dan cabut sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Menurut Ustadz Wahyu, di negara-negara Eropa terdapat tiga pandangan besar mengenai politik, yaitu kelompok sekuler, kelompok liberal, dan kelompok Marxis.
Ia menjelaskan kelompok liberal memandang demokrasi sebagai mekanisme yang membatasi kekuasaan agar tetap menjalankan fungsi utamanya, yakni melindungi hak-hak rakyat.
Sementara kelompok Marxis melihat negara sebagai instrumen kepentingan kelas yang berkuasa. “Kelompok ini memiliki ciri suka revolusi atau pemberontakan revolusioner kepada kekuasaan, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis-utopis,” katanya lagi.
Dalam perspektif Islam, Ustadz Wahyu menegaskan konsep negara merujuk pada civil society masyarakat Madinah yang dibangun Rasulullah, yang kini dikenal sebagai masyarakat Madani.
“Madani sendiri adalah keadaban yang dibangun dengan nilai-nilai adab masyarakat yang beriman. Ada beberapa prinsip negara Madani. Yang pertama itu dibangun dengan prinsip syuro atau musyawarah. Ayat Al-Qur’an bicara tentang syuro cukup banyak. Bahkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an, perintah syuro sederajat dengan perintah salat,” ujarnya.
Ia menambahkan Islam merupakan pihak yang pertama kali mengenalkan konsep social contract dalam pembentukan negara demokrasi-konstitusional melalui Piagam Madinah.
“Piagam Madinah sangat menghormati perbedaan. Dalam piagam Madinah ini, bahkan melindungi kemajemukan dan hak-hak kelompok minoritas,” tandasnya.
Dalam penutup paparannya, Ustadz Wahyu mengutip pidato kebangsaan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nasir, berjudul Indonesia Jalan Tengah, Indonesia Milik Semua.
Menurut Prof Haedar, demokrasi formal memang ada, tetapi demokrasi substantif seperti partisipasi bermakna, kontrol publik, dan akuntabilitas mengalami kemunduran akibat politik berbiaya tinggi, oligarki, dan saling sandera.
