Madika, bersama anggotanya layak mendapatkan apresiasi atas dedikasi mereka dalam menangani masalah sampah.

Di tengah banyaknya perbincangan mengenai cara mengatasi sampah, Dirsan yang memulai perjuangannya sejak 2011 telah menawarkan solusi nyata. Ia berhasil mengubah sampah plastik menjadi produk yang berguna dan bernilai .

Dirsan dan timnya terbiasa menghadapi tumpukan botol, gelas, dan kantung plastik. Sampah tersebut mereka olah menjadi berbagai produk seperti paving, gantungan kunci, sandal, kursi, hingga bahan bakar seperti solar, bensin, dan minyak tanah dari limbah plastik.

“Saya memilih mengolah sampah plastik karena alasan yang jelas. Setelah berhenti bekerja sebagai teknisi di maskapai penerbangan, saya perlu mencari pekerjaan baru. Banyak membaca tentang pengelolaan sampah membuat saya tertarik mencoba sampah plastik sebagai sumber penghasilan,” ungkap Dirsan.

BACA JUGA  Guru Tua Kembali Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional

Dirsan memulai usahanya dari skala kecil di Kelurahan Taipa dengan membentuk , yang berarti ‘bersih'.

Saat ini, Bank Sampah tersebut memiliki 12 anggota, terdiri dari delapan perempuan dan empat laki-laki.

Melalui , Dirsan mengolah sampah plastik menjadi barang-barang yang bernilai , termasuk bahan bakar.

Meski masih terbatas dalam menjangkau pasar yang lebih luas, permintaan bahan bakar hasil olahan mereka tetap tinggi di wilayah setempat.

Salah satu pengguna, Listin, rutin membeli minyak tanah olahan untuk keperluan dapurnya.

“Saya selalu membeli minyak tanah dua liter dengan harga Rp10 ribu per liter. Minyak ini sangat baik untuk memasak dan tidak memengaruhi kualitas masakan,” ujarnya.

Selain itu, Amrun, seorang pengemudi truk, juga menggunakan solar olahan Bank Sampah Navoe untuk kendaraannya.

BACA JUGA  Prof Dr. Sulianti Saroso: Pahlawan Kesehatan Indonesia yang Tampail Google Doodle

“Saya sering menggunakan solar ini untuk perjalanan dari Palu hingga Poso. Harganya cukup hemat, hanya Rp6.500 per liter,” katanya.

Nelayan di pesisir Teluk Palu pun telah memanfaatkan bahan bakar dari sampah plastik untuk menggerakkan mesin perahu mereka.

Minhar, nelayan asal Taipa, mengungkapkan, “Saya membeli bensin dua liter seharga Rp20 ribu untuk mesin perahu katinting. Dari hasil tangkapan, saya bisa meraih pendapatan hingga Rp150 ribu.”

Untuk menghasilkan 0,8 liter solar, bensin, atau minyak tanah, Bank Sampah Navoe membutuhkan kilogram sampah plastik.

Dengan mesin yang ada saat ini, mereka mampu memproduksi 50 liter minyak tanah, 200 liter solar, dan 150 liter bensin per bulan dengan waktu kerja sekitar 8 hingga 12 jam setiap kali produksi.

BACA JUGA  Perempuan Pertama Tiga Periode di DPRD Palu

Dirsan, yang merupakan lulusan STM, juga merancang sendiri mesin pengolah sampah tersebut setelah melalui 11 kali percobaan hingga berhasil beroperasi dengan baik.

Bank Sampah Navoe saat ini memiliki 150 nasabah, di mana 88 di antaranya adalah nelayan. Berkat usaha keras mereka, sejak 2019, pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan telah memberikan dukungan berupa mesin press, mesin pemotong plastik, dan gudang penyimpanan.

Aksi Bank Sampah Navoe ini patut didukung secara lebih luas. Pemerintah perlu memberikan regulasi yang mendorong sirkuler serta mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).