, Jakarta – Pakar hukum sangat mendukung terkait dengan gebrakan Jaksa Agung ST Burhanuddin tentang penerapan hukuman mati bagi koruptor.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Hasanuddin Prof. Dr. Muhadar, SH, MSi, mengatakan pemikiran Jaksa Agung mengenai hukuman mati bagi koruptor perlu didukung.

Karena hal itu sesuai dengan amanat yang tertuang di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang no 31 tahun 1999 junto undang-undang no 20 tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana .

Keinginan Jaksa Agung itu tentu juga harus didukung oleh lembaga Pengadilan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana mati bagi koruptor.

“Tidak hanya bagi terdakwa yang melanggar Pasal 2 ayat (2) undang-undang tipikor tetapi juga terdakwa koruptor yang melanggar pasal lainnya, seperti Pasal 3, pasal-pasal terkait suap, penggelapan dan lain-lain,” ujarnya, Senin (/11/2021).

Ia juga menuturkan, pasal-pasal yang dia sebutkan terakhir norma hukum dan saksi pidananya harus diperbaiki atau diperbarui dengan mencantumkan ancaman sanksi pidana mati.

“Kemudian dibutuhkan komitmen tinggi kepada lembaga-lembaga yang diberi kewenangan, baik penyidik, penuntut maupun , untuk memberantas tipikor dengan menerapkan sanksi pidana mati tersebut,
“ungkapnya
Menurut Prof. Muhadar, penerapan hukuman mati bagi koruptor membutuhkan integritas dan sinergitas penegak hukum, baik penyidik tipikor, penuntut, maupun hakim.

Sinergitas dan kesamaan tujuan penyidik tipikor, penuntut dan hakim komit untuk menerapkan pidana mati bagi terdakwa koruptor untuk kualifikasi kasus-kasus tipikor tertentu yang dilakukan atau pejabat negara atau terhadap subjek hukum lainnya, dengan syarat-syarat yang ketat bahwa penyidik penuntut dan hakim saling koordinasi sinergitas sejak di tingkat penyidikan.

BACA JUGA  Lantik 165 Pejabat, Hadianto Minta Pejabat Tingkatkan Kinerja

Dia mengatakan jaksa penuntut bisa saja berpegang pada UU Kekuasaan Kehakiman, tetapi dibutuhkan jaksa penuntut yang memiliki integritas kuat dan berani menuntut pidana mati terhadap koruptor yang melanggar Pasal 2 ayat (), Pasal 3 dan pasal lainnya dalam UU Tipikor.

Kemudian ia meyakini tuntutan hukuman mati itu bisa dilakukan sebab penyidik, penuntut adalah bagian dari kekuasaan Kehakiman yang menjalankan fungsi peradilan atau fungsi yudikatif sebagai bentuk bekerjanya sistem peradilan pidana yang progresif per represif atau represif per progresif dengan mengesampingkan prinsip peradilan pidana terkait penjatuhan sanksi pidana tidak terikat dengan sanksi yang ada. Misalnya Pasal 3 undang-undang tipikor.

“Solusi hukumnya, mungkin perlu adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) atau Perppu, bila memang pemerintah memiliki keinginan serius untuk mengamputasi para koruptor atau perampok uang rakyat,”katanya.

Dihubungi terpisah, budayawan dan spiritualis nusantara Kidung Tirto Suryo Kusumo mewanti-wanti para penegak hukum agar mengedepankan hati nurani dalam menegakkan keadilan.

BACA JUGA  Garuda Beraksi! Indonesia vs Kamboja di SEA Games: Siap-siap Saksikan Pesta Gol

“Hukum itu bukan matematika tapi harus pakai hati nurani. Hal ini sudah ditegaskan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada jajarannya, dan hendaknya keadilan berhati nurani ini juga diterapkan oleh lembaga penegak hukum lainnya termasuk Kehakiman,” katanya.

Kidung Tirto mengatakan, rakyat menantikan keberanian dan ketegasan para penegak hukum seperti yang dilakukan oleh Jaksa Agung terhadap koruptor, apalagi di saat bangsa ini sedang menghadapi pandemi.

Dia menilai gebrakan tentang hukuman mati koruptor menjadi catatan terhadap kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin.

“Gebrakan ini menambah rapor biru Jaksa Agung. Gebrakannya bukan hanya berani membongkar kasus-kasus kakap, tetapi juga gagasan restorative justice atau keadilan berhati nurani,” ujarnya.

Oleh karena itu, Kidung Tirto sangat mendukung langkah Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati bagi koruptor guna memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, dengan tetap memperhatikan hukum yang berlaku dan hak asasi manusia.(Klb/*)