Ronald: Seluruh Honorer Harus Surati Pemerintah Pusat
Madika, Jakarta – Komisi I DPRD Sulawesi Tengah, Kamis 9 Juni 2022 menyambangi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk memperjuangkan nasib ribuan tenaga honorer di Sulawesi Tengah.
Rombongan Komisi I tersebut diterima oleh Deputi Analisis Kebijakan Kemenpan RB. Beberapa catatan dari pertemuan tersebut disampaikan Sekretaris Komisi I, Ronald Gulla.
Dalam catatannya, Ronald Gulla menyoroti kebijakan penghapusan tenaga honorer ini. Pasalnya, pemerintah pusat, khususnya Kemenpan RB tidak siap dengan program ini, bahkan kebijakan penghapusan pegawai honorer ini tidak jelas.
Dari pertemuan itu dijelaskan, setiap daerah yang mau merekrut tenaga PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) wajib melakukan evaluasi terhadap kebutuhan ASN, baik itu PNS maupun PPPK di wilayah masing-masing.
Setelah evaluasi kebutuhan tenaga ASN dan PPPK dilaksanakan, maka BKD (Badan Kepegawaian Daerah) mengusulkan kepada BKN (Badan Kepegawaian Nasional) untuk kebutuhan ASN di daerahnya masing-masing, serta dilampirkan fakta integritas kesanggupan daerah membayar gaji dan tunjangan PPPK yang akan diajukan
Bagi tenaga honorer yang tidak diseleksi melalui PPPK dan PNS, dilakukan melalui tenaga alih daya (outsourcing) seperti pramusaji, satuan keamanan, sopir dan lainnnya akan menjadi sejenis pengadaan barang dan jasa yang diadakan setiap tahun sesuai kebutuhan. Untuk tenaga outsourcing ini, perlu dikonsultasikan ke LKPP terkait apa saja yang dapat di sediakan dan diadakan selain supir, tenaga kelistrikan, pramusaji, satuan keamanan, dan cleaning service karena belum jelas batasan outsourcing yang dimaksud.
Masih dari hasil konsultasi di Kemenpan RB, prioritas PPPK masih sama yaitu fokus pada pemenuhan tenaga guru dan kesehatan. Sedangkan tenaga honorer yang menjadi tenaga administrasi perkantoran disarankan melihat jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK. Misalkan di lingkungan DPRD, staf administrasi bisa masuk kedalam pranata humas, asisten legislasi, dan lain-lain.
“Menurut kami, perlu ditambah formasi jabatan lainnya seperti tenaga administrasi perkantoran, asisten pribadi, fotografer, tenaga sound system, protokoler, dan lain-lain,” kata Ronald.
Dari hasil pertemuan dengan Kemenpan RB, Ronald Gulla juga menyampaikan belum ada kebijakan khusus terkait tenaga honorer yang sudah mengabdi diatas 5 atau 10 tahun. Sebab, PPPK hanya fokus kepada guru dan tenaga kesehatan.
“(kebijakan) Ini tidak adil. Sebaiknya seluruh tenaga kontrak diseluruh Indonesia, perlu menyurat dan mendesak pemerintah pusat untuk menunda atau membatalkan kebijakan penghapusan tenaga honorer sebelum ada kejelasan kebijakan bagi tenaga honorer yang sudah lama mengabdi,” tandas Ronald.
Sesuai UU ASN No.5/2014, PP 11/2017 tentang manajemen ASN, dan PP 49/2018 tentang jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK, bahwa selambat-lambatnya 28 Oktober 2023 pemerintah pusat akan menghapus seluruh pegawai honorer.
“Belum ada skenario matang dan jelas dari pemerintah pusat untuk tenaga honorer yang sudah lama mengabdi, sehingga perlu ada upaya dan daya dorong dari semua daerah untuk mendesak pemerintah pusat melalui DPRD dan kepala daerah untuk menunda/membatalkan wacana mengakhir tenaga kontrak atau tenaga honorer didaerah, karena kebijakan peralihan sangat tidak jelas dan belum siap untuk disampaikan kepada Presiden dan DPR RI,” beber politikus PAN ini.
Perubahan tenaga honorer menjadi PPPK, lanjut Ronald adalah hal yang positif dan membawa dampak baik bagi yg lolos seleksi PPPK tetapi tidak semua daerah akan mampu menganggarkan belanja PPPK, karena gaji mereka akan setara PNS, tentunya berdampak drastisnya peningkatan belanja pegawai.
“Tenaga honorer masih dibutuhkan daerah. Karena itu, keberadaan tenaga honorer jangan dulu dihapus oleh pemerintah pusat. Belum lagi quota yang akan disetujui oleh pemerintah pusat biasanya tidak sesuai dengan kebutuhan daerah,” ucap Ronald.
Keputusan Menpan RB No.76/2022 tentang jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK hanya terdapat 187 jabatan fungsional. Dimana menurut Ronald, itu belum lengkap, sehingga mendorong agar kemenpan RB menambah jabatan fungsional yang dapat diisi oleh PPPK.
Ronald juga berharap Kemenpan RB memprioritaskan tenaga honorer yang sudah mengabdi diatas 5 tahun dengan memberikan solusi bagi mereka, bukan hanya kepada guru dan tenaga kesehatan saja. Jika memungkinkan, ada seleksi khusus bagi yang sudah mengabdi lama dan bukan mengikuti seleksi reguler.
Belum adanya kebijakan khusus pemerintah pusat terhadap tenaga honorer yngg sudah lama bekerja di instansi pemerintah, membuat seleksi PPPK tidak bisa memastikan mereka yang sudah bekerja lama di pos kerja jabatan masing-masing, kembali terpilih di pos jabatannya itu. Tetapi bisa oleh orang lain, karena seleksi dilakukan terbuka untuk PPPK diluar guru dan tenaga kesehatan.
Belum ada kepastian dan ketegasan dengan dihapuskannya tenaga honorer di 2023, terhadap pos kerja yang tidak terisi oleh PPPK, akan dibiayai atau dilakukan dengan cara apa, sehingga Ronald menyarankan Kemenpan RB agar pos jabatan yang belum tersisa oleh ASN (PNS dan PPPK) masih dapat diisi oleh tenaga honorer.
“Contoh, ada sekolah tidak mempunyai guru matematika atau guru agama, dimana selama ini pos kerja itu diisi oleh tenaga honorer, ketika honorer dihapuskan dan diganti PPP3, dan posisi guru tersebut tidak terisi, tentunya ini akan membuat persoalan baru,” kata Ronald.
Berdasarkan hasil konsultasi Komisi I tersebut, masa kerja tenaga honorer jika tidak ada perubahan kebijakan, akan berakhir pada November 2023. Sehingga, di APBD 2023 masih dapat dianggarkan belanja tenaga honorer.
Pemerintah provinsi dan kabupaten kota segera menyusun analisis jabatan dan analisis beban kerja, dan segera mengajukan permohonan formasi jabatan kepada pemerintah pusat untuk menyelamatkan dan memfasilitasi sebanyak mungkin tenaga honorer yang bekerja dengan baik dan sudah lama mengabdi dalam waktu transisi ini.
Dari hasil komunikasi dengan Kemenpan RB, sebenarnya tenaga honorer adalah jawaban sederhana atas kebutuhan tenaga pegawai di daerah yang lebih murah dan mengakomodir serta membantu banyak orang. Sebagian dari mereka bisa di seleksi bertahap untuk menjadi PPPK sehingga harapannya silakan laksanakan seleksi PPPK tanpa harus menghapus honorer di tahun 2024.
“Perjuangan ini belum selesai. komisi I akan kembali lagi ke Kementerian PAN RB serta ke DPR RI dan juga Kemendagri terkait persoalan ini,” tandasnya.(*)
Tinggalkan Balasan