, Poso – Mengembala kerbau di padang rumput telah menjadi tradisi turun temurun warga Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Tenggara . Aktivitas pengembangan peternakan itu, perlahan tapi pasti akan menjadi kenangan. Akan hilangnya tradisi itu tak lain disebabkan mulai tergerusnya padang rumput pengembalaan akibat luapan air danau poso karena beroperasinya bendungan Poso .

Dari 300 hektar lahan pengembalaan yang dimanfaatkan warga untuk mengembangbiakan ternak, kini tersisa sekitar 100 hektar. Penyusutan lahan akibat terendam air danau poso itu, secara pasti berdampak pada jumlah populasi ternak yang kian berkurang.

Sebelumnya, lahan seluas 300 hektar mampu menampung sekitar 700an ekor kerbau. namun kini tercatat populasi kerbau yang dimiliki oleh warga tersisa sekitar 467 kerbau. Jumlah itu diyakini akan terus berkurang jika tak ada langkah kongkrit mengatasi kekurangan lahan pengembalaan.

“Sejak beroperasinya bendungan , lahan pengembalaan mulai terendam. Kematian mulai terjadi sejak awal tahun 2020 karena kekurangan pakan,”kata Moris Tosadu (40) salah seorang pengembala ditemui, minggu (11/09/2022).

BACA JUGA  Kandidat Gubernur Sulteng Didesak Fokus Krisis Iklim dan Perlindungan Masyarakat Adat

Hilanganya lahan pengembalaan menurut Moris telah menyebabkan 94 ekor kerbau dan 16 ekor sapi milik warga mati. Meski telah menerima ganti rugi yang jauh dari kata sebanding dari PT. Poso Energy. Hal itu diakuinya tidak menyelesaikan masalah, sebab lahan pengembalaan tidak hanya sekadar menjadi tempat kerbau memperoleh makanan, namun turut menjadi kandang bagi ratusan kerbau.

Moris (40) warga Desa Tokilo, Kecamatan Pamona Tenggara, memberi makan kerbau miliknya.

Permasalahan ini perlu segera mendapat solusi. Sebab mempertahankan pengembalaan kerbau tidak hanya sekadar mempertahakan tradisi warga desa Tokilo, juga menjadi upaya menyelamatkan perekonomian warga yang menjadikan kerbau sebagai nyata bagi kehidupan meski sebagian besar penduduk memiliki pekerjaan bertani dan berkebun.

“Kerbau ini menjadi penompang hidup, terutama kalau anak-anak mau masuk sekolah atau ada keperluan mendadak. Disini kami tidak pernah jual tanah,”tegasnya.

Pemerintah Desa pun mulai menggagas antisipasi dini untuk memperlambat hilanganya tradisi mengembala. Pembatasan jumlah kepemilikan ternak menjadi wacana yang akan dirembukan bersama warga. Sebab luasan lahan 100 hektar idealnya hanya mampu menampung sekitar 200 ternak.

BACA JUGA  DPD PKS dan NasDem Siap Bermitra Dengan Pemkot

“Kami berencana untuk membatasi jumlah ternak milik warga, karena lahan gembala yang ada saat ini kemungkinan hanya mampu menampung 200 kerbau. Jadi nantinya setiap pemilik kerbau hanya diperbolehkan memiliki lima ekor saja, tapi ini masih wacana,” kata Kepala Desa Tokilo, Hertian Tanku'a.

Upaya itu digagas karena dampak buruk dari beroperasinya bendungan Poso masih dirasakan oleh para peternak. Hertian mengaku kematian kerbau masih terus terjadi, tercatat priode 2021-2022 ada sekitar 50 ekor kerbau warga yang mati.

Meski masih mengalami kerugian, warga justru tidak mendapat ganti untung atas kejadian itu, karena PT Poso Energy menganggap kematian ternak disebabkan oleh virus yang muncul dari rumput yang busuk. Temuan itu dikemukan oleh peneliti dari yang didatangkan oleh perusahan.

BACA JUGA  Habib Hasan Tegaskan Panggung Haul Tidak Dijadikan Panggung Politik

“Kematian ternak itu masih ada, tapi pihak Poso Energy bilang itu karena virus bersumber dari rumput yang busuk. Makanya tidak ada proses ganti rugi,”ungkap Hertian.

Sebelumnya PT Poso Energy telah melakukan ganti rugi atas matinya 94 ternak dengan harga yang jauh dari kata wajar yakni, indukan biasanya berada di harga Rp14 juta hanya diganti Rp7 juta, kerbau dewasa yang biasa dihargai 10 sampai 12 juta hanya diberi ganti rugi Rp5 juta perekornya, sementara anakan yang hanya dibayar Rp2,5 juta.

Desa Tokilo juga dikenal sebagi daerah penyuplai kerbau ke tanah Toraja. Setiap bulannya ada puluhan kerbau yang dikirim ke Toraja. (Sob)