Petani Sigi Ditahan, Aliansi Gerakan Reforma Agraria Menuntut Keadilan!
Madika, Jakarta – Penahanan tiga petani di Kabupaten Sigi oleh Tim Operasi Pengamanan Hutan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (GAKKUMDU) Sulawesi Tengah, menuai kritik dari sejumlah kalangan.
Tiga petani Sigi bernama Farid, Arwin, dan Emon pada tanggal 11 Desember lalu, ditahan dengan tuduhan telah melakukan penambangan tanpa izin di kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Keluarga korban dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria menilai, penahanan tiga petani di Sigi inprosedural, karena surat penahanan baru diberikan dua hari pasca penahanan, membuat korban kehilangan kesempatan untuk meminta pembelaan dan pendampingan hukum.
“Tindakan kekerasan dan kriminalisasi di wilayah Taman Nasional Lore Lindu bukan kali pertama. Ini menjadi pelengkap dari catatan buruk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh BBTNLL terhadap rakyat lingkar kawasan TNLL.” Kata Ketua umum Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Mohammad Ali, melalui keterangan tertulisnya.
Penggunaan senjata organik oleh GAKKUMDU dan BBTNLL, dianggap sebagai bentuk teror dan intimidasi terhadap rakyat.
Menurut Aliansi Gerakan Reforma Agraria, hal ini menunjukkan bahwa sejak awal, GAKKUMDU dan BBTNLL telah mendudukkan rakyat sekitar sebagai pelaku kriminal.
Tuduhan terhadap ketiga petani juga dianggap berlebihan. Menurut Mohammad Ali, mereka hanya mengumpulkan batuan material sisa pertambangan yang telah ditutup sejak Mei 2023.
“Alat-alat seperti linggis, martil, dan alat tibe yang ditemukan bukan milik mereka, kecuali sebilah parang yang umumnya dimiliki oleh petani untuk beraktivitas di ladang atau hutan.” Lanjut Ali.
Penuturan keluarga dan tetangga mengungkapkan bahwa Farid dan Arwin adalah buruh tani sehari-hari, yang juga memiliki lahan perkebunan. Namun, lahan mereka yang dulunya produktif kini terbengkalai akibat gempa tahun 2018 dan perubahan iklim, termasuk pandemi COVID-19 yang memperburuk situasi ekonomi.
Dalam keterangan tertulisnya, Aliansi Gerakan Reforma Agraria menuntut penghentian proses hukum dan pembebasan tiga petani, serta hak rakyat untuk memanfaatkan sumber daya alam secara adil.
Tuntutan juga mencakup penghentian tindakan terror, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap rakyat, serta pencabutan SK Penetapan BBTNLL yang dianggap merampas tanah dan wilayah rakyat.
“Kejadian ini menambah daftar kontroversi terkait BBTNLL di TNLL, mencuatkan pertanyaan terkait hak rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan tanah yang mereka garap secara turun temurun.” Pungkasnya.
Tinggalkan Balasan