Kearifan Lokal, Kendala BKSDA Sulteng Tangani Buaya Di Teluk Palu
Madika, Palu – Pihak Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mengaku, adanya segelintir masyarakat yang menyebut keberadaan buaya di teluk palu sebagai kearifan lokal menjadi kendala utama dalam penanganannya.
Hal itu dikemukakan saat pihak BKSDA Sulteng, menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersmama Komisi IV DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dan sejumlah stakholder terkair, Senin (09/05/2022).
Mereka mengaku, sering kalai mendapat ancaman dari warga ketika akan melakukan penertiban oleh warga yang menganggap buaya di teluk Palu adalah bagian dari mereka. Tak jarang, para petugas BKSDA diancam menggunakan parang oleh warga.
“Ada Sebagai warga Kota Palu yang melarang dikarenakan mereka menganggap bahwa buaya-buaya tersebut merupakan saudara mereka atau ada hubungan darah. Bahkan yang lebih parahnya, masyarakat tersebut tidak segan-segan mengancam kepada pihak balai karantina hewan dengan mengunakan sebilah parang untuk mencegat kegiatan tersebut (penertiban,red),” kata Kepala BKSDA Sulteng, Hasmuni Hasmar.
Dijelaskan juga, pihaknya membutuhkan dukungan dana untuk menangani stawa predator ini. Terkhusus dalam perluasan tempat karantina, mengingat lokasi karantina yang dimiliki saat ini sudah tidak memadahi, terlebih untuk penampungan buaya.
“Kami meminta solusi apakah saat inisudah bisah dilakukan perburuan terhadap buaya-buaya tersebut dandilakukan penangkaran, dan Tentunya didukung oleh dari segi anggaran.”lanjut Hasmuni.
Dijelaskan juga, BKSDA sebelumnya telah membuat SK untuk tim yang menangani konflik antara satwa liar dan manusia, dan ditandatangani Gubernur Longki Djanggola, pada 2021.Namun SK tersebut tidak memiliki kekuatan Hukum. Dan disarankan Komisi IV mau menginisiasi peraturan daerah (Perda) terkait penanganan buaya.
Sementara Dirpolairud Polda Sulteng, menyarankan agar membentuk tim cari di mana buaya bertelur dan bersarang, dengan mengacu beberapa kasus yang terjadi belakangan ini.
“Jadi bukan hanya mencari buaya yang muncul saja. Kami siap membantu,” katanya.
Hal senada juga disampaikan perwakilan dari Korem Tadulako. Pada intinya, pihaknya mendukung hal-hal yang dilakukan untuk menangani keberadaan buaya tersebut.
Sementara itu, pihak Dinas Kehutanan (Dishut) Sulteng, menyampaikan bahwa buaya-buaya tersebut merupakan satwa yang dilindungi, tentunya harus ada peraturan dalam penanganannya.
“Karena berada di luar kawasan habitatnya, yaitu di laut maka jadi tanggung jawab pemerintah untuk mencari solusi. Memang pada dasarnya perlu dibentuk tim,” ujarnya.
Terkait itu, Ketua Komisi IV DPRD Sulteng, Alimuddin Pa'ada mengatakan, pihaknya akan mendorong keberadaan SK tim tersebut agar memiliki kekuatan hukum.
Ia pun menyampaikan perlunya pertemuan sekali lagi untuk mencari solusi konkret atas permasalahan yang dimaksud.
Anggota Komisi IV lainnya, Erwin Burase, mengaku sepakat jika SK satgas yang ada saat ini perlu diperkuat dengan perda.
“Buaya ini selain meresahkan juga mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat. Memang perlu penangkaran besar yang tentunya membutuhkan anggaran. Memang ini perlu ada pembahasan lebih lanjut,” katanya. (Sob)
Tinggalkan Balasan