PT. BTI Tak Laporkan UKL-UPL Selama 2 Tahun, DPRD Sulteng Desak Sanksi Tegas
Madika, Palu – Wakil Ketua I DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Aristan S.Pt, menyoroti insiden longsor yang terjadi di area pertambangan batu milik PT. Bosowa Tambang Indonesia (PT. BTI).
Berdasarkan laporan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, longsor tersebut terjadi akibat kondisi geologi yang labil serta curah hujan tinggi yang melemahkan daya ikat batuan hingga menyebabkan pergerakan tanah.
“Longsor ini terjadi secara tiba-tiba, menyebabkan material tanah dan batuan jatuh dalam jumlah besar, memicu kepanikan warga sekitar,” ungkap Aristan, mengutip laporan DLH.
DLH merekomendasikan agar PT. BTI menerapkan kaidah pertambangan yang baik, memperhatikan keamanan dan kemiringan lereng yang ditambang, serta menyediakan alat pelindung diri (APD) yang memadai untuk pekerja.
Selain itu, DLH juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Donggala terkait kesesuaian pemanfaatan ruang, mengingat area sebelah utara IUP PT. BTI berdekatan dengan permukiman tetap yang dihuni oleh 18 kepala keluarga.
Namun, yang mengejutkan adalah PT. BTI tidak pernah menyampaikan laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan sejak semester dua tahun 2022 hingga semester dua tahun 2024.
Kepala DLH Sulteng, Yopie Patiro, menyatakan bahwa pihaknya telah memberikan sanksi teguran sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam PP 22 Tahun 2021 dan Permen LH Nomor 14 Tahun 2024.
Menanggapi hal ini, Aristan mengapresiasi langkah DLH yang telah turun langsung ke lapangan dan mewawancarai pihak terkait. Namun, ia menilai bahwa sanksi teguran masih jauh dari cukup untuk menyelesaikan masalah ini.
“Waktu dua tahun itu cukup lama bagi PT. BTI untuk melalaikan kewajibannya. Ini artinya mereka telah melakukan pelanggaran dalam kurun waktu yang panjang, padahal wilayah tambang ini rawan longsor dan dekat dengan permukiman warga,” tegasnya.
Aristan juga mengungkap bahwa kasus serupa bukan hanya terjadi di PT. BTI, tetapi juga banyak perusahaan lain di wilayah ini yang tidak menyampaikan laporan UKL-UPL. Padahal, dokumen tersebut merupakan syarat utama dalam memperoleh izin pertambangan dan wajib dipenuhi oleh perusahaan.
“Jika UKL-UPL adalah syarat utama untuk mendapatkan izin, maka ketika ada pelanggaran dalam penyampaian dan pelaksanaan dokumen ini, seharusnya sanksi tegas dijatuhkan, bahkan hingga pencabutan izin operasional,” tutup Aristan.
Tinggalkan Balasan